Sidang pengujian UU di Mahkamah Konstitusi. APKASI meminta pemerintah tak menerbitkan aturan turunan UU Pemda karena sedang digugat (ANTARA)

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) kembali melayangkan gugatan uji materi atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Para kepala daerah tingkat II itu masih berharap agar pemerintah pusat bisa mengembalikan kewenangan pengelolaan kekayaan alam daerah kepada mereka.

Karena itulah, pihak APKASI meminta pemerintah tak terburu-buru menerbitkan peraturan turunan dari UU Pemda karena sedang digugat ke MK. "Pemerintah sebaiknya menunda penerbitan berbagai peraturan pemerintah (PP) dan peraturan pelaksana lainnya dari UU Pemda hingga proses hukum uji materi di MK selesai," kata dewan pakar hukum tata negara APKASI Rifqinizamy Karsayuda dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Jumat (25/9)

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengakui, saat ini UU 23/2014, banyak menyisakan sekelumit polemik di lapangan. Utamanya masalah kewenangan yang berimbas pada pelaksanaan pemerintah daerah yang bertentangan.

Tjahjo mencontohkan, izin pertambangan yang semula menjadi kewenangan daerah kabupaten atau kota beralih menjadi kewenangan provinsi. Akibatnya, pemberian izin pertambangan terhambat karena data dan dokumen masih berada di kabupaten atau kota.



Belum adanya peraturan pelaksana UU Pemda, kata Rifqi, menjadi penyebab penyelenggaraan pemerintahan menjadi terhambat. "Terutama terkait peralihan kewenangan antar tingkatan pemerintah seperti penyelesaian penganggaran, personel, prasarana dan sarana serta dokumen (P3D)," ujarnya.

Melihat situasi demikian, kata Rifqi, politik hukum pemerintahan Jokowi-JK semestinya mampu mengembalikan otonomi daerah yang telah dirampas oleh UU 23/2014. Alasannya, Jokowi adalah representasi politisi lokal yang berhasil menjadi presiden.

Menurut Doktor Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya ini, sebagai mantan walikota, Jokowi sadar betul bahwa otonomi di kabupaten/kota akan memperpendek birokrasi dan mempermudah pelayanan publik dalam banyak hal.

"Inilah momen bagi Presiden Jokowi untuk mengembalikan kembali otonomi yang telah terampas oleh UU Pemda, sehingga cita-cita mewujudkan proses birokrasi dan pelayanan publik menjadi lebih mudah dan cepat sebagaimana visi Nawacita terwujud," kata Rifqi.

BEREBUT MENGELOLA KEKAYAAN ALAM - Pihak pemerintah kabupaten/kota memang berharap banyak agar MK mau mengabulkan gugatan mereka itu. Harapannya, agar sejumlah kewenangan Pemkab yang ditarik ke Pemprov seperti kewenangan mengurusi bidang kehutanan, perikanan dan kelautan, dikembalikan lagi, sesuai yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004.

Ketua Bidang Pemerintahan dan Otda APKASI Usman Ermulan beralasan, ditariknya beberapa kewenangan pemkab untuk mengelola kekayaan alam itu, justru berdampak buruk pada lingkungan. Terhambatnya perizinan, kata Usman, bisa membuat orang bisa seenaknya melakukan pertambangan atau penebangan hutan.

"Kewibawaan para Bupati hilang, mereka tidak bisa ikut cawe-cawe untuk melakukan pencegahan dini, karena kewenangannya sudah ditarik ke provinsi," kata Usman beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, kata dia, Gubernur selaku kepala pemerintahan provinsi, tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi masalah itu karena jumlah aparatnya terbatas. Akibatnya, perusakan lingkungan di daerah berlangsung mulus tanpa ada pengawasan yang masif.

Karena itulah, kata dia, APKASI menggugat UU Pemda ke MK. "Kita akan lobi ke presiden dan DPR. Kita mohon presiden terbitkan Perppu, karena UU ini hanya memunculkan masalah saja di daerah tanpa ada solusi," kata Usman.

Selain soal kewenangan yang dipangkas, kata Usman, APKASI juga merasa "dicurangi" DPR karena UU Pemda ini disahkan diam-diam di penghujung masa bakti DPR periode 2009-2014. "Pembahasannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tanpa meminta masukan dari para Bupati yang kewenangannya dilucuti, akibatnya menjadi bom waktu pemerintahan sekarang ini," katanya.

APKASI, kata dia, tidak pernah sekalipun diajak bicara. Akibatnya kualitas UU ini rendah dan rawan gugatan. "Kami merasa, pengesahannya di rapat paripurna DPR juga dipaksakan, makanya ya kayak begini jadinya," kata Usman.

Dia menilai UU Pemda yang lama, yaitu UU No 32 Tahun 2004 sudah cukup memadai, sehingga tidak perlu diubah. UU 32/2004, kata Usman sudah mencakup filosofi pemberian beberapa kewenangan pengelolaan sumber daya alam agar daerah tidak membangkang pada pemerintah pusat.

"Itu sebenarnya roh dari UU No 32 Tahun 2004, tapi kenapa tiba-tiba diubah menjadi UU No 23 Tahun 2014. Ini langkah sembrono yang kita sayangkan, karena membuahkan bom waktu bagi pemerintahan berikutnya," tegas Usman.

Dia menilai, penarikan kewenangan daerah ke pusat dengan alasan kekuasaan Pemkab terlalu besar dan bupatinya jadi raja-raja kecil ini terlalu mengada-ada. "Alasan itu terlalu berlebihan, itu pengelabuan untuk kembali pada pemerintahan yang sentralistik seperti pada era Orde Baru dulu. Masa urusan sepele seperti mau nambang pasir satu truk saja harus lapor ke Gubernur," kata Usman.

Staf Ahli Bidang Perencanaan Pembangunan Daerah APKASI Zulkarnaen mengatakan, APKASI juga bakal menghitung potensi kerugian material, akibat UU No 23 Tahun 2004. Misalnya, untuk recovery 1,7 juta hektare hutan dan tambang yang rusak di Kaltim membutuhkan biaya sekitar Rp7.000 triliun.

Zulkarnaen menegaskan, dalam hitungan APKASI, hutan dan tambang yang rusak se-Indonesia, mencapai seluas 42 juta hektare. "Belum lagi kerugian yang ditanggung masyarakat, misalnya masalah air yang langka dan bahaya tanah longsor akibat hutan yang gundul, dan segudang masalah lainnya," ujarnya.

PEMERINTAH JALAN TERUS - Pemerintah sendiri sepertinya menanggapi dingin tuntutan APKASI untuk tidak menerbitkan aturan turunan dari UU Pemda yang tengah digugat. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, pemerintah akan terus menyusun peraturan pelaksana UU Pemda.

Pemerintah pusat, kata Tjahjo, sudah melakukan serangkaian pertemuan membahas penyusunan aturan turunan UU Pemda ini dengan pejabat internal dan eksternal di Kemendagri. "Kemendagri mengupayakan penyelesaian 30 RPP, dua Perpres dan 6 Permendagri sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014," kata Tjahjo, Rabu (23/9).

Tjahjo menegaskan, RPP yang disusun pemerintah terkait UU Pemda itu termasuk dalam 23 rancangan prioritas. Ada beberapa aturan turunan yang sudha masuk pembahasan seperti aturan soal perangkat daerah, evaluasi kinerja, penataan urusan, dan aturan tentang Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat. Sisanya, ada 7 RPP lagi yang masuk tahap penyusunan draf.

Selain RPP, Tjahjo mengatakan, pemerintah juga sedang menyelesaikan dua rancangan Peraturan Presiden. Satu Perpres sudah rampung yaitu Peraturan Presiden No 91 Tahun 2015 Tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

Sementara satunya lagi adalah rancangan perpres tentang Pejabat Sekda yang telah memasuki tahap penyusunan draf dan sudah dilaksanakan koordinasi internal Kemendagri. Selain itu ada juga rancangan permendagri yang memasuki tahap konsolidasi internal dalam rangka penyusunan draf.

Dengan selesainya aturan turunan ini, Tjahjo optimis hambatan dalam pelaksanaan UU Pemda akan teratasi. Selama ini, dengan tidak adanya aturan turunan UU Pemda, penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Salah satunya terkait masalah perubahan atau peralihan kewenangan antar tingkatan atau susunan pemerintahan terutama terhadap penyelesaian penganggaran, personel, prasarana dan sarana serta dokumen (P3D).

"Misalnya, izin pertambangan yang semula menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota beralih menjadi kewenangan Provinsi, berakibat terhambatnya pemberian izin pertambangan, karena data dan dokumen masih berada di Kabupaten/Kota," kata Tjahjo. (dtc)








BACA JUGA:
.