Hananto Widodo, Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya. (Dok. Pribadi)

Hananto WidodoDosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya

 
Pilihan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebenarnya bukan merupakan hal yang mudah.

Mengapa demikian? Karena PSBB ini merupakan pilihan yang paling moderat dalam rangka untuk membatasi penularan dari COVID-19.
 
Dikatakan sebagai pilihan yang paling moderat karena PSBB ini bukanlah sebuah kebijakan yang ekstrem dalam membatasi ruang gerak sosial masyarakat.
 
Pilihan kebijakan PSBB tentu didasarkan pada banyak pertimbangan yang bukan hanya perkembangan hukum, tetapi juga lebih dominan aspek non hukum.

Aspek non hukum antara lain terkait dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor informal, seperti ojek online dan pedagang kaki lima.
 
Jika kebijakan yang dipilih oleh pemerintah adalah karantina wilayah, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat di Indonesia yang semakin terpuruk ekonominya.
 
Beberapa kalangan dengan gagahnya mengutip pernyataan dari Presiden Ghana Nana Akufo Addo:

“Saya yakinkan Anda bahwa kami tahu apa yang harus dilakukan untuk menghidupkan kembali perekonomian. Yang kita tidak tahu adalah menghidupkan kembali orang yang telah meninggal.”

Untuk memahami pernyataan Presiden Ghana itu tentu tidak bisa serta merta ditelan secara mentah karena setiap pernyataan akan terdapat konteks di baliknya.

Paling tidak ada beberapa pertimbangan kenapa pemerintah lebih memilih PSBB ketimbang karantina wilayah.

Dalam karantina wilayah mengandung konsekuensi yang tidak mudah, di mana negara harus menanggung bukan saja setiap masyarakat yang terdampak secara ekonomi, tetapi juga hewan ternak.
 
Tentu ini bukan persoalan yang mudah bagi pemerintah, karena pasti akan menjadi beban yang berat bagi pemerintah jika harus menanggung masyarakat yang terdampak tersebut. 

Berbeda dengan karantina wilayah, PSBB memang dimungkinkan bagi pemerintah untuk memberikan bantuan bagi masyarakat terdampak agar mereka bisa bertahan hidup.

Namun demikian, bantuan pemerintah terhadap masyarakat terdampak ini bukan merupakan kewajiban, melainkan lebih pada diskresi dari pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah bisa memberikan bantuan atau tidak terhadap masyarakat. 

Kelemahan mendasar dari PSBB adalah terlalu menggantungkan pada kesadaran hukum masyarakat. Hampir setiap hari kita sering mendengar lontaran kritik dari sebagian masyarakat terhadap masyarakat yang masih terus melakukan pelanggaran PSBB.
 
Kesadaran hukum masyarakat memang merupakan variabel penting terkait dengan pencapaian keberhasilan dari PSBB. Namun, kesadaran hukum masyarakat bukan merupakan variabel penentu dari keberhasilan PSBB ini. 
 
PSBB merupakan legalitas dari pemerintah daerah untuk menindak setiap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Penetapan status PSBB tentu juga dilengkapi dengan instrumen hukum guna menegakkan norma hukum PSBB.
 
Pedoman pelaksanaan PSBB di kota Surabaya diatur dalam Peraturan Walikota Surabaya (Perwali) 16/2020.
 
Dalam Perwali tersebut diatur mengenai kewenangan Pemerintah Kota Surabaya untuk menindak para pelanggar. Sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggar hanya berupa sanksi administrasi.
 
Dalam penegakan hukum, sanksi administrasi merupakan sanksi yang lebih lunak dibandingkan sanksi pidana. Sanksi administrasi dianggap lebih lunak dibandingkan sanksi pidana, karena sifat dari sanksi administrasi adalah memulihkan (reparatoir).
 
Berbeda dengan sanksi administrasi, sanksi pidana lebih bersifat memberikan efek jera. Sanksi pidana hanya dapat didasarkan pada undang-undang bukan Perwali, karena sanksi pidana merupakan bentuk perampasan hak seseorang, sehingga pengaturan terhadap norma pemidaan harus melalui proses yang demokratis, di mana rakyat dilibatkan dalam perumusan norma tersebut.
 
Dan, bentuk penormaan pidana khususnya pidana dengan kategori kejahatan hanya dapat diatur dalam undang-undang. 

Meskipun dalam PSBB ini aparat pemerintah hanya dapat menerapkan sanksi administrasi tetapi bukan berarti pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat dihentikan.
 
Paling tidak ada beberapa pelanggaran yang sering dilakukan oleh masyarakat. Pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, paling banyak terkait dengan tetap berkerumunnya mereka dalam satu lokasi. Kerumunan ini tentu sangat kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam menghentikan persebaran COVID-19. 

Kerumunan yang dilakukan oleh masyarakat tentu ada sarananya dan sarananya adalah di warkop dan kafe.
 
Jika melihat fenomena merebaknya warkop di sepanjang ruas kota-kota besar, dapat diasumsikan kalau warkop itu tidak memiliki izin. Mereka hanya bermodalkan tempat dan alat-alat perlengkapan warkop.
 
Oleh karena itu, aparat pemerintah kota dalam melakukan razia terhadap kerumunan massa di warkop tidak cukup jika hanya menindak pengunjungnya saja, tetapi alangkah lebih tepatnya, aparat pemerintah kota juga melakukan paksaan pemerintah (bestuurdwang) dengan cara menutup warkop yang tanpa izin itu.
 
Jika kerumunan itu terjadi di kafe yang memiliki izin maka aparat pemerintah kota dapat melakukan pembekuan izin terhadap kafe yang memberi potensi terhadap pelanggaran PSBB. Pembekuan izin merupakan tindakan dari pejabat pemerintah untuk menghentikan kegiatan kafe yang melanggar PSBB agar persebaran COVID-19 menjadi lebih minim. 
 
Pertanyaannya apakah pihak kepolisian dapat memberikan sanksi pidana bagi pelanggar PSBB?

Kalau dalam konteks pelanggaran PSBB yang diatur dalam Perwali 16/2020 tentu tidak bisa, tetapi pihak kepolisian dapat memproses secara pidana jika ada pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana.
 
Meskipun itu tidak langsung berkaitan dengan PSBB tetapi proses pemidanaan tersebut sangat membantu dalam menekan angka pelanggaran terhadap PSBB.







BACA JUGA:
.