Ilustrasi pelaksanaan PSBB di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (alinea.id)

Hezron Sabar Rotua Tinambunan
Dosen Hukum Administrasi Negara dan Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya 


Pembatasan Sosial Berskala Besar bukanlah hal istimewa dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19. Hal ini dikarenakan Pembatasan Sosial Berskala Besar telah diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Beberapa wilayah di Indonesia telah menerapkan ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar ini salah satunya daerah Jawa Timur yang terdiri dari Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik sejak tanggal 28 April 2020 – 11 Mei 2020. Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diterapkan oleh pemerintah daerah diharapkan dapat mempercepat penanganan Covid-19.

Setiap daerah dapat menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar apabila mendapat persetujuan oleh Menteri Kesehatan. Menteri Kesehatan mendapatkan kewenangan ini berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menyatakan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yaitu Menteri menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di suatu wilayah berdasarkan permohonan gubernur/bupati/walikota.



Konsep Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) jo Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020, kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah mengunakan Bureaucratic Approach atau Pendekatan Birokrasi artinya adanya proses yang harus ditempuh oleh suatu daerah untuk mendapatkan persetujuan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar, sehingga yang terjadi adalah dimungkinkannya memakan waktu yang tidak sebentar dan menjadikan lambannya penanganan Covid-19.

Pendekatan Birokrasi ini pun dapat dimaknai tidak sesuai dengan semangat yang ada dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam pasal tersebut tersurat prinsip dalam penanganan Covid-19 ini yaitu prinsip cepat dan tepat.

Dengan kebijakan yang diambil pemerintah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan persetujuan Menteri, pada akhirnya dapat dimungkinkan memperpanjang birokrasi, dimulai dengan peninjauan oleh pihak pemohon (daerah tertentu), kemudian pemohon mengajukan kepada menteri, lalu ditinjau layak atau tidaknya, proses ini menggambarkan begitu panjang dan mungkin saja ruwet prosedur yang harus dilalui kemudian disisi lain dengan tidak adanya metode yang pasti diterapkan ditiap daerah maka Pemerintah Daerah dalam penanganan Covid-19 memiliki metode sendiri artinya daerah diberi kewenangan bebas (freies Ermessen) untuk menentukan dengan cara apa implementasi dari Pembatasan Sosial Berskala Besar ini sehingga memunculkan persepsi yang berbeda-beda dari masing-masing daerah.

Hal ini dapat dilihat awal penerapan di Surabaya Raya (Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik), awal penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jalan Utama daerah Bundaran Waru arah masuk ke wilayah Kota Surabaya menjadi perbincangan yang ramai di sosial media, hal ini dikarenakan adanya antrian panjang pengendara Roda 2 (dua) maupun Roda 4 (empat) untuk masuk ke wilayah Kota Surabaya, yang menjadi ironi adalah arah sebaliknya di Kabupaten Sidoarjo, tidak ada antrian yang masuk untuk pengendara yang putar balik.

Apakah mereka warga Kabupaten Sidoarjo sehingga tidak terdapat antrian serupa? Atau pemerintah Kabupaten Sidoarjo memiliki persepsi sendiri terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar? Dengan demikian dapat menjadi efektifkah penerapan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar ini? Akan muncul banyak pertanyaan karena terjadi perbedaan implementasi padahal sama-sama menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Ini mencerminkan bahwa Pemerintah melalui aparaturnya harus memiliki kapasitas dan integritas dalam penanganan Covid-19, jangan digunakan untuk pencitraan (politik). Memberikan bantuan dengan stempel atau tanda yang menunjukan identitas misalkan. Hal ini semestinya tidaklah terjadi, perlu kerja sama yang tulus untuk menyelesaikan pandemi ini dan pada akhirnya masyarakat lah yang menjadi penentu untuk mewujudkan putusnya mata rantai penyebaran Covid-19.

Dengan masyarakat yang sadar akan bahaya Covid-19 dan juga kepatuhan terhadap himbauan ataupun aturan yang telah ditetapkan pemerintah maka ini pasti akan terwujud. Hal ini harus dilakukan dengan serius mengingat hingga pekan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar morbiditas atau penambahan pasien positif di wilayah Surabaya khususnya masih tinggi.

 








BACA JUGA:
.