Ilustrasi cetak uang (uangindonesia.com)

Taswa Witular, Pemerhati Sosial Politik

Pada saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia, berbagai elemen masyarakat bergerak sesuai dengan fungsi, kapasitas, dan tujuan masing-masing.

Banyak orang yang tanpa kenal lelah menebar kebaikan.

Di sisi lain, ada pula orang yang tanpa kenal lelah menebar kejahatan, bak memancing di air keruh.

Sesuai keahlian dan instrumen yang dimiliki, pemancing pun memilih spot-nya. Ada yang hanya bisa memancing di air keruh namun dangkal, ada pula yang karena kapasitasnya memilih memancing di lautan.



Dibutuhkan stamina dan mental yang juga tidak kacangan saat memancing di lautan. Semua hal yang diperlukan sudah harus dipersiapkan dengan matang.

Lautan yang merupakan muara dari semua air yang tentunya jauh lebih keruh dari yang terlihat mata telanjang. Di dalamnya terkandung ikan besar dan bernilai tinggi.

Itu sebabnya para pemancing profesional lebih memilih laut dibandingkan dengan perairan dangkal.

Dari gedung wakil rakyat, dengan dalih menyelamatkan ekonomi nasional, muncul usulan (meski sebenarnya baru usulan personal, bukanlah usulan resmi DPR) agar Bank Indonesia mencetak uang Rp600 triliun.

Ini jauh lebih mengerikan dari virus korona itu sendiri.

Why printing money is not the solution?

Jika hal itu nantinya benar-benar dilaksanakan maka potensi inflasi di ambang pintu, bila printing money ini tidak dikelola dengan baik.

Mendorong penggunaannya pada sektor-sektor produktif dan riil memang dapat mengurasi sisi instabilitasnya. Namun masihkah kita yakin bahwa printing money dapat menjadi solusi setelah dalam kebijakan yang sama di masa lampau, kita gagal mencapai tujuannya?

Mereka yang menyuarakan bukanlah orang yang tidak mengerti ekonomi. Mereka paham sekali efek buruk yang muncul jika uang sejumlah Rp600 triliun itu dicetak.

Mereka juga pasti sudah memprediksi dampak sosialnya.

Jika usulan ini terinspirasi dari printing money-nya Amerika, harus dilihat bahwa rupiah berbeda dengan mata uang Amerika Serikat (AS).

Bagi AS, printing money tidak menimbulkan inflasi karena dolar AS sudah menjadi dagangan di pasar internasional, sedangkan rupiah semata alat pembayaran, bukan komoditi. Maka tiap penambahan jumlah uang beredar melalui printing money  sangat berpotensi inflasi.

Lalu, bagaimana usulan tersebut bisa tercetus? 

Harus diwaspadai dan diyakinkan bahwa usulan itu bukanlah merupakan konspirasi para politikus jahat.

Kita ketahui sejak dulu, ilmu politik dan ekonomi sangat erat kaitannya. Keduanya merupakan rumpun ilmu sosial.

Inflasi memang tidak selalu negatif selama dapat terkendali dalam kisaran angka yang sesuai dengan kemampuan negara. Namun tingkat inflasi yang tinggi dapat memberikan dampak yang negatif baik bagi masyarakat maupun negara.

Jumlah masyarakat miskin akan meningkat tajam, bukan tidak mungkin kelaparan di mana-mana akan terjadi kembali dan memporak-porandakan stabilitas sosial hingga akhirnya chaos.

Para politikus busuk akan senang, rencana busuk mereka akhirnya terwujud. Bagi para pengejar kekuasaan, inilah saatnya menarik joran karena ikan sudah tersangkut di kail.

Selain hal tersebut di atas, waspadai pula kemungkinan adanya peran korporat nakal dalam hal ini. Kemungkinan selalu ada meskipun bukan yang kita harapkan.

Harus diwaspadai agar tidak ada permainan Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan para korporat nakal.

Tidak bisa disangkal, banyak perusahaan yang mengalami keterpurukan hebat akibat pandemi korona saat ini. Maka satu-satunya cara untuk selamat dari keterpurukan itu adalah dengan mendapat suntikan dana segar. 

Pada akhirnya, kebijakan tetap berada pada para pihak terkait.

Jika pun printing money tetap dilakukan maka seyogyanya menjadi kemaslahatan bagi rakyat. Uang harus benar-benar dapat dikonversikan ke dalam sektor yang menghasilkan tingkat pengembalian hasil yang melebihi oportunitas memegang uang itu sendiri.

Investasi uang pada sektor yang tidak bertaut dengan sektor rill harus diminimalisir. Jantung ekonomi adalah sektor keuangan. Menghidupkan ekonomi syaratnya harus disiplin lewat perencanaan perbaikan yang apik.

Dengan demikian kebijakan moneter dan fiskal yang merupakan representasi kebijakan ekonomi sesungguhnya diarahkan agar ekonomi dapat memberikan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup manusia, bukan justru sebaliknya.








BACA JUGA:
.