JAKARTA - Industri mobil listrik digadang-gadang akan membawa nilai investasi yang cukup besar ke Indonesia. Tentu saja ini berkat cadangan nikel yang merupakan bahan baku utama dari baterai listrik.

Mengenai cadangan nikel sebagai bahan dasar baterai listrik, menurut catatan Bloomberg 2020, Indonesia berada di peringkat pertama dalam total cadangan nikel dunia sebesar 24%. Jelas, ini angka fantastis. Demikian juga dengan kobalt dan mangan, dua unsur lain dalam baterai listrik yang juga melimpah di negeri kita.

"Tentang mobil listrik dan industri baterai dengan bahan baku nikel sangat strategis jika dilakukan dengan serius," kata pengamat energi dan tambang Bisman Bachtiar kepada Gresnews.com, Sabtu (16/1/2021).

Bisman melanjutkan, dengan nilai positif itu Indonesia jangan hanya menjadi penonton tapi harus memiliki peran sentral dalam industri tersebut.



Ia pun menambahkan mengenai penanam modal atau investor untuk investasi itu silahkan saja dari luar negeri atau asing. Namun hal-hal yang penting itu harus dari dalam negeri.

"Investasi boleh dari luar namun, bahan baku, row material dan tenaga kerja harus dari dalam negeri," terang Bisman.

Untuk itu perlu dasar hukum agar menjadi acuan dalam pelaksanaannya, sehingga mendesak dikeluarkan undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang khusus untuk mengatur tentang hal ini.

Dengan era mobil listrik sudah di depan mata, maka Indonesia harus bisa merebut posisi pemain utama industri baterai kendaraan listrik global. Posisi sebagai episentrum dalam manufaktur baterai listrik telah menemukan momentumnya. Indonesia berpeluang menjadi pemain utama baterai listrik otomotif di dunia.

Secara ekonomi, pemanfaatan baterai bagi mobil listrik juga bisa menghemat devisa. Berdasar perhitungan kebutuhan minyak Indonesia sekitar 1,2 juta barel per hari, separuhnya yang bisa dipenuhi dari dalam negeri. Kekurangannya harus impor Rp 200 triliun per tahun. Tapi, dengan mobil listrik yang sepenuhnya menggunakan energi domestik, tidak perlu lagi membuang devisa.

Dengan menggunakan baterai, biaya operasional mobil jauh lebih ekonomis, kira-kira seperlima dari biaya mobil dengan BBM. Jika untuk jarak tempuh yang sama, mobil konvensional membutuhkan biaya Rp500.000, mobil listrik hanya Rp 100.000-an.

Selain itu, perubahan ekosistem kendaraan BBM ke kendaraan listrik adalah langkah mewujudkan ketahanan energi. Ada transisi dari konsumsi energi impor menjadi energi domestik, dan penghematan biaya operasional transportasi secara signifikan. Pada gilirannya, mengurangi emisi karbon dan menjadikan udara lebih bersih.

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2019 dengan status hingga Desember 2018, cadangan bijih nikel nasional mencapai 3,57 miliar ton terdiri dari cadangan terkira sebanyak 2,87 miliar ton dan 698 juta ton cadangan terbukti.

Sedangkan sumber daya nikel bahkan mencapai 9,31 miliar ton, terdiri dari sumber daya terukur 2,03 miliar ton, tertunjuk 2,68 miliar ton, tereka 4,29 miliar ton, dan hipotetik 294,9 juta ton.

Mulai awal 2020 ini pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel dengan maksud penambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu, sehingga nilai ekspor memiliki nilai tambah dan bernilai jual lebih tinggi. Selain itu, penghentian ekspor bijih nikel juga dengan tujuan agar Indonesia memiliki cadangan yang cukup untuk membangun industri baterai kendaraan listrik.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, produksi olahan nikel seperti Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel pada 2019 mencapai 1,78 juta ton. Angka ini naik signifikan dibandingkan 2015 yang baru sebesar 358,5 ribu ton. Pada 2020 ini direncanakan naik menjadi 2,02 juta ton. (G-2)

 








BACA JUGA:
.