Ilustrasi anak sekolah (duniadosen.com)

JAKARTA - Kemajuan suatu bangsa bergantung pada kualitas dunia pendidikannya. Dunia pendidikan dapat maju dan mencetak sumber daya manusia unggul bisa telah memiliki grand desain yang tepat.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan sudah waktunya pemerintah membuat grand design guru. "FSGI Mendukung Revisi UU Guru dan Dosen dan mendorong pemerintah memenuhi perintah UU, yaitu menciptakan pola ikatan dinas bagi calon guru," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan setidaknya ada empat persoalan guru di tanah air. Yakni persoalan kualitas, perlindungan, kesejahteraan dan distribusi yang terpampang dari hulu sampai hilir. Hulunya adalah keberadaan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK).

Masalah guru sudah dimulai pada saat para calon guru masuk LPTK sebagai kampus pencetak calon guru. Faktanya LPTK di Indonesia masih bermasalah dari aspek kualitas dan kurikulumnya. Maka Revisi UU Guru dan Dosen serta perbaikan total LPTK adalah keniscayaan, jika ingin guru berkualitas.



Menurut Satriwan harus ada grand design pengelolaan guru yang dibuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Harus benar-benar holistik dari hulu sampai hilir, di hulu mulai dari rekrutmen mahasiswa calon guru di LPTK. Fungsi LPTK sebagai lembaga yang menyiapkan, melatih dan mengelola calon guru.

"Harus ada perubahan radikal membenahi LPTK," ungkapnya.

FKIP/LPTK harus ditata ulang kembali keberadaannya. Hapuskan LPTK tidak bermutu yang tiap semester meluluskan wisudawan calon guru tetapi tak pernah ada perkuliahan. Termasuk membenahi kurikulum pendidikan di LPTK agar sesuai kebutuhan dan perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0.

Potret kualitas LPTK/FKIP saat ini memang memprihatinkan, menurut data Kemristekdikti dari 421 LPTK (2016), yang terakreditasi A (hanya 18 LPTK), akreditasi B (81 LPTK), sisanya akreditasi C, dan belum diakreditasi. Pemerintah harus memperketat bahkan kalau perlu memoratorium pembukaan prodi-prodi pendidikan yang baru.

Lebih lanjut Satriwan mengungkapkan untuk persoalan hilir adalah upaya pemerintah menyiapkan dan mendistribusikan para guru, sehingga persoalan kekurangan guru di daerah tertentu. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan dapat terpenuhi.

Distribusi ini perlu agar tak lagi ada kelebihan guru di daerah/kota tertentu. Ada sekitar 1,2 juta mahasiswa calon guru, lulusan LPTK sekitar 260.000 per tahun, sedangkan angka kebutuhan guru PNS secara nasional 707.000 guru. Dibutuhkan keseriusan Kemdikbud dalam mengelola dan menyelesaikan kebutuhan guru dan redistribusi guru secara nasional.

Ia menyatakan pemerintah (daerah) telah gagal dalam memenuhi perintah Pasal 22 UU Guru dan Dosen yang berbunyi:
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sejak 2005 sampai sekarang, pasal di atas hanya tertera di kertas, tapi tidak pernah direalisasikan oleh pemerintah pusat dan daerah

Persoalan tersebut menyebabkan rendahnya mutu pendidikan nasional, seperti yang terakhir dipotret dari perolehan skor TES PISA para siswa. Indonesia menduduki peringkat 6 dari bawah negara anggota OECD. Bagi Satriwan yang juga guru di salah satu sekolah swasta di Jakarta, ini adalah akibat dari rendahnya komitmen Pemda dalam mengurusi pendidikan.

Muaranya terlihat dari politik anggaran pendidikan Kota/Kab dan Provinsi di Indonesia yang jauh di bawah 20%. Ada ratusan daerah yang anggaran pendidikannya di bawah 15% (data NPD Kemdikbud). Bahkan ada yang masih di sekitar 0-5%. FSGI mendorong Pemda serius membuat alokasi anggaran pendidikan sesuai perintah UUD 1945 Pasal 31, yaitu minimal 20%. Jelas-jelas alokasi anggaran pendidikan daerah yang sangat rendah seperti ini adalah inkonstitusional alias bertentangan dengan perintah konstitusi.

Kemdikbud harus mendorong, membangun sinergisitas, dan koordinasi yang konstruktif dengan Kemendagri dan Pemerintah Daerah, khususnya dalam politik penganggaran APBD dalam pendidikan. Dibutuhkan political will (keseriusan) pemerintah daerah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai kewajiban UUD 1945 Pasal 31 (4): Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Jika alokasi anggaran pendidikan daerah sudah baik maka akan terjadi perbaikan terhadap kualitas guru, perbaikan zonasi siswa, peningkatan kualitas-kuantitas sarana prasarana, dan peningkatan capaian pendidikan secara umum. (G-2)








BACA JUGA:
.