Sebanyak 300 orang kalangan santri dari sejumlah pondok pesantren dan siswa tingkat SMA sederajat di Kabupaten Garut, melakukan latihan fisik dan mental pada Pendidikan Bela Negara yang digelar Komando Distrik Militer TNI AD 0611 Garut. (republika.com)

JAKARTA - Tanpa ada riuh rendah seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP dan lainnya yang terganjal karena tuntutan para mahasiswa, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara pada Kamis (26/9). Padahal RUU PSDN yang secara garis besar mengatur tentang bela negara juga memiliki pasal-pasal yang problematik.

Pengesahan RUU Pesantren itu diputuskan dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9). Wakil Ketua DPR Agus Hermanto memimpin rapat. Salah satu muatan bela negara sebagaimana dalam RUU PSDN adalah `komponen cadangan` militer yang diisi masyarakat sipil yakni program bela negara.

Catatan Gresnews.com, Imparsial telah mengkritisi beberapa pasal dalam RUU PSDN ini. RUU PSDN memuat peraturan yang mengancam pemilik sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana, yang ditetapkan menjadi Komponen Cadangan tetapi menolak menyerahkannya pada negara.

Berikut bunyi pasal 77 ayat (1):



“Setiap orang yang dengan sengaja atau tanpa alasan yang sah tidak menyerahkan pemanfaatan sebagian atau seluruh Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional miliknya yang telah ditetapkan menjadi Komponen Cadangan untuk digunakan dalam Mobilisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Mekanisme penetapan sumber-sumber daya tersebut diatur di Pasal 50. Pasal tersebut menyebutkan sumber daya ditetapkan sebagai Komponen Cadangan setelah melalui verifikasi dan klasifikasi.

Imparsial menilai pasal ini tidak mengadopsi norma hak asasi manusia secara utuh. Pasalnya undang-undang ini memungkinkan militer menguasai sumber daya selain manusia meski itu bukan milik negara.

"RUU ini justru mengancam dengan sanksi pidana terhadap anggota komponen cadangan untuk menolak panggilan mobilisasi,” kata Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri.

Imparsial juga mengkritisi Pasal 3 Ayat (1) yang menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara dilaksanakan melalui bela negara. Menurut Imparsial secara konseptual, bela negara tidak bisa dimaknai secara sempit karena memiliki dimensi yang luas dan tak terbatas pada mempertahankan negara dari ancaman militer dari luar.

Konsep bela negara, menurut Gufron, juga bisa mencakup upaya-upaya lain warga negara di luar aspek pertahanan. Seperti penguatan ekonomi negara dan masyarakat, peningkatan pendidikan, penguatan tatanan politik yang demokratis ikut berkontribusi pada kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Pasal 47 huruf b dan c mengatur soal pengelolaan anggaran juga bermasalah. Disebutkan dalam pasal ini bahwa pengelolaan sumber daya nasional bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat di samping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN).

Imparsial menyebut hal tersebut menyalahi prinsip sentralisme pembiayaan anggaran pertahanan negara, yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Jika pembiayaan pertahanan dari APBD dan sumber lainnya diakomodasi dalam RUU ini dapat menimbulkan masalah serius karena sulit untuk dikontrol.

Imparsial menilai pada Pasal 5 Ayat 2 Poin e pendekatan RUU PSDN cenderung militeristik sehingga tidak bisa dihindari adanya dugaan upaya militerisasi sipil melalui program bela negara. Apalagi konsepsi yang ditawarkan dalam program bela negara tidak cukup jelas. (G-2)








BACA JUGA:
.