Terdakwa Kasus Suap Proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Amran H Mustary (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/2). Sidang tersebut mengagendakan mendengarkan keterangan saksi-saksi. (ANTARA)

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang kasus suap pengerjaan proyek infrastruktur di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang melibatkan sejumlah anggota Komisi V DPR mengungkap adanya dugaan keterlibatan Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan. Hal itu terungkap dari kesaksian tangan kanan Kepala Balai Pembangunan Jalan Nasional (BPJN) IX Amran Hi Mustary, yang bernama Imran S Djumadil.

Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi untuk terdakwa Amran Hi Mustary itu terungkap, Rudi disebut menerima aliran dana sebesar Rp6,1 miliar secara bertahap dari beberapa pengusaha termasuk Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir serta Kepala Balai Pembangunan Jalan Nasional (BPJN) IX Amran Hi Mustary. Uang yang diberikan Amran sendiri diketahui berasal dari Khoir serta beberapa pengusaha lain yang totalnya mencapai puluhan miliar rupiah.

Namun ia tidak menikmatinya sendiri, Amran juga membagi-bagikan uang tersebut termasuk atas permintaan Rudi Erawan. Uang itu dibagi-bagikan lewat Imran. Dalam persidangan itu, Imran mengakui dia sendiri yang mengantarkan uang tersebut kepada Rudi.

Pemberian uang tersebut dilakukan di lokasi relaksasi spa yang berada di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. "Saya menyerahkan (Rp5,6 miliar) di Delta Spa Pondok Indah. Saya belum pernah pergi ke sana, saya justru tahu dari Pak Rudi. Saya janjian sama Pak Rudi di sana," ujar Imran di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/2).



Menurut Imran, dari jumlah itu, uang sebesar Rp3 miliar berasal dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir. Pemberian selanjutnya sebesar Rp2,6 miliar, setelah Rudi menghubungi langsung Amran, yang rencananya digunakan sebagai dana optimalisasi DPR.

"Besoknya, Pak Amran telepon lagi ke Hotel Ambhara untuk kumpul. Kita bawa (uang) ke Delta Spa Pondok Indah ke Pak Rudi Erawan, Bupati Halmahera Timur," ungkap Imran.

Selanjutnya pemberian ketiga sebesar Rp500 juta. Pemberian dilakukan secara transfer melalui bank atas permintaan Rudi. "Ketiga ini, Pak Rudi telepon sama Amran, minta dibantu untuk dana kampanye. Lalu, Amran telepon saya, ceritakan itu dan tanyakan apakah Abdul Khoir bisa bantu?" kata Imran.

Rudi pun mati-matian membantah pernyataan ini. Menurutnya ia tidak pernah menerima uang sepeser pun baik dari Imran, Amran ataupun Abdul Khoir. Begitupun mengenai pertemuan di Delta Spa, Rudi juga mengelaknya. "Tidak pernah, kalau terima saya ditahan. Ketemu dengan beliau Pak Amran di bandara, tapi saya lupa," kata Rudi.

"Saya ingin konfirmasi BAP No. 10 menerangkan saya pernah ketemu Amran dan Imran di Delta Spa pondok indah di sela-sela saya terapi dan menerangkan sama kita rekomendasi kepala balai dan sudah saya rekomendasikan tapi saya tidak tahu lagi kelanjutannya," kata Jaksa KPK Tri Anggoro Mukti.

Mendengar BAP-nya sendiri dibacakan jaksa, Rudi terlihat bingung dan meralat kembali pernyataannya. "Lupa, beliau pernah menanyakan," ujar Rudi.

Sedangkan mengenai aliran uang yang diberikan bertahap sebesar Rp3 miliar, Rp2,6 miliar dan Rp500 juta Rudi konsisten mengelak. Ia mengklaim tidak pernah menerima uang tersebut.

Begitupun saat ditanya mengenai aliran dana lain sebesar Rp200 juta yang katanya untuk membeli tiket pesawat dalam rangka Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan dari Imran S. Djumadil, Rudi juga mengaku tidak mengetahuinya.

"Keterangan saudara di BAP 12 saya tidak pernah menerima uang dari Imran dan Amran yang saya dengar Arnes PNS Kabupaten Halmahera atau Sespri saat Januari 2016 Imran pernah membantu Arnes tiket pesawat Jakarta tapi tidak menyertakan detil dan tidak ada uang yang diberikan ke saya," ujar Jaksa Tri membacakan BAP Rudi.

Karena terus menerus mengelak, Jaksa KPK pun meminta majelis hakim untuk kembali menghadirkan Imran S. Djumadil untuk dikonfrontir dengan Rudi. Hakim Ketua Fasal Hendri bahkan menjadi orang pertama yang mengkonfrontir pernyataan keduanya. "Anda merasa menyerahkan?" tanya Hakim Fasal kepada Imran.

Politisi PAN ini pun membenarkannya. "Istilah on top saya terakhir makan terakhir di My Spa Senayan saya sampaikan ke Pak Rudi kalau bisa Rp6 miliar dikembalikan karena itu dari Pak Abdul Khoir lalu sepakat, begitu juga Rp500 juta Pak Rudi sudah masuk ya dicek ya," ujar Imran.

Hakim Fasal pun menanyakan tentang uang lain sebesar Rp200 juta. "Saya nanya ke Pak Rudi dan Ernes ambil di kantin," tuturnya.

Tidak hanya Imran, Amran Hi Mustary yang duduk di kursi terdakwa juga membantah keterangan Rudi. Amran menyebut, Rudi memang turut menerima sejumlah uang baik dari Imran ataupun dirinya yang asal uang tersebut diketahui dari para pengusaha.

"Bantuan dari pak imran, pak Imran ajak saya di mobil dan spa Pondok Indah, dan waktu itu saya sampaikan dana on top dari Banggar tapi perlu pengelolaan Pak Imran lalu hubungi Abdul Khoir terkumpul dan saya bilang serahkan ke Pak Imran, lalu pak Imran komunikasi lalu ke spa pondok indah," terang Amran.

"Terus di mobil saya temani Imran di pondok indah, Pak Imran turun dari mobil untuk sampaikan, bantuan PDI P itu juga Pak Imran komunikasi dengan sekretaris Pak Rudi karena semua itu uang berasal dari Abdul Khoir," sambungnya.

HUBUNGAN RUDI-AMRAN - Dalam persidangan itu juga terungkap adanya hubungan "spesial" antara Rudi dan Amran. Rudi Erawan mengakui, dia pernah meminta restu Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto untuk mengusulkan nama Amran H Mustary sebagai Kepala Badan Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Ya saya sampaikan (kepada) Pak Hasto, saya sudah sampaikan (usulan Amran jadi Kepala BPJN IX) ke fraksi," kata Rudi di persidangan.

Awalnya, jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK Iskandar Marwoto menanyakan keterlibatan Rudi dalam memenangkan Amran. Rudi mengaku bertemu dengan Amran dan kaki tangannya, Imran S Djumadil, atas ajakan Amran, pada akhir 2014 di Plaza Senayan, Jakarta Pusat. Di situ, Amran meminta Rudi mengusulkan dirinya menjadi Kepala BPJN IX.

"Saya sampaikan (ke Amran) kalau saya saja (yang mengusulkan) nggak kuat. Jadi saya bantu mengusulkan saja. Tapi karena jabatannya kepala balai ini dari Maluku, alangkah baiknya pejabatnya adalah putra daerah asli. Pasti lebih memperhatikan daerahnya," terang Rudi, yang juga menjabat Ketua DPD PDIP Maluku Utara.

Rudi lalu mengaku prosedur itu harus sepengetahuan fraksi partai pengusung. Nantinya fraksi partai pengusung di DPR-lah yang akan membawa usulan tersebut ke Kementerian PUPR.

"Sifatnya kita (Pemda) hanya mendukung saja, bukan rekomendasikan, usulan. Karena kita nggak bisa mencampuri wewenang Kementerian PUPR. (Usulan) itu pun lewat fraksi, tidak langsung ke PUPR," jelas dia.

Meski mengakui pernah mempromosikan Amran, Rudi membantah menerima uang dari proyek yang dikerjakan Amran. Amran sendiri dalam persidangan itu, terungkap memang meminta uang dari pihak rekanan proyek pembangunan jalan.

Hal itu terungkap dari keterangan saksi bernama Budi Lim. "Saya kenal dengan terdakwa sudah lama sebagai rekanan kerja sebelum terdakwa menjadi kepala balai," ucap Budi Lim di persidangan.

Budi, yang merupakan salah satu petinggi perusahaan rekanan itu, juga mengamini adanya permintaan uang dari Amran. Saat itu, kata Budi, uang diberikan lewat Abdul Hamid, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian PUPR.

"Saya pernah diminta bantuan sumbangan saja untuk terdakwa, tapi tidak langsung. Lewat Pak Abdul Hamid. Saya kasih uangnya dua kali. Rp500 juta dan Rp500 juta. Saya dikasihkan nomor rekening 1 perusahaan dan saya disuruh kirim ke situ," ujar Budi.

Saksi lainnya, yaitu Tan Leny Tanaya, mengatakan hal serupa. Leny adalah seorang direktur di perusahaan milik So Kok Seng alias Aseng, salah satu tersangka kasus suap tersebut.

"Saya kirim melalui rekening adik saya atas nama Tan Wendy. Pak Aseng bilangnya hanya mau terima uang di Jakarta dan saya diminta menukarkan ke (pecahan) US dollar. Bulan Desember (2015) itu Rp2,5 miliar, itu dikirim juga melalui rekening adik saya. Perintahnya sama, mau pakai uang itu di Jakarta," ucap Leny. (dtc)








BACA JUGA:
.