Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi (tengah) didampingi Kepala Bagian Hubungan Antar Lembaga David Simanjutak (kanan) memberikan keterangan pers terkait Putusan Kasasi MA Terhadap Anas Urbaningrum di Jakarta, Selasa (9/6). Dalam keterangannya MA menolak kasasi yang diajukan pihak Anas Urbaningrum dan Majelis Kasasi melipatgandakan hukuman pidana terhadap Anas menjadi 14 tahun karena terbukti terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan terbukti money laundering (tindak pidana pencucian uang). (ANTARA)

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Selain menambah vonis Anas Urbaningrum menjadi 14 tahun penjara, denda Rp5 miliar, uang pengganti Rp57,59 miliar dan US$ 5,261 juta, majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) juga mencabut hak politik bekas Ketua Umum Partai Demokrat ini. Pencabutan hak politik seperti ini dinilai pemerhati kebijakan publik, Teddy Gusnaidi, melanggar konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Teddy, pendapat MA yang mengatakan rakyat harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin, dan kemungkinan publik salah memilih, sehingga harus dicegah dengan mencabut hak politik warga negara adalah berdasarkan asumsi yang ukurannya bias.

Alasannya, tidak ada satu pun pasal di dalam UUD 1945 yang membenarkan pencabutan hak politik seseorang. Pasal 28A menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28C ayat (2) menyatakan setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Begitu juga dengan Pasal 28 D Ayat (1) mengatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di mata hukum.

"Apakah hukuman terhadap Anas dengan mencabut hak politiknya juga. diberlakukan sama dan diberlakukan kepada setiap yang lain, kan tidak," kata Teddy kepada Gresnews.com, Kamis (11/6).

Menurut Teddy, tidak ada pengecualian di pasal-pasal UUD 1945 yang menyatakan bahwa ada hak asasi warga negara yang boleh dicabut. Ia berpendapat, seseorang yang sudah dinyatakan bebas menjalankan masa hukuman, dan tidak dalam masa pantauan, berarti hak politiknya harus bebas juga. Alasannya, seorang warga negara Indonesia yang dijatuhi vonis bersalah, tetap merupakan warga negara Indonesia yang masih memiliki sejumlah hak.

"Pertanyaannya, jika benar kewenangan MA seperti itu di undang-undang, apakah UU boleh melanggar UUD 1945?" Tegasnya. Sebab katanya, merujuk pada vonis itu MA menilai pengadilan tingkat pertama keliru membuat pertimbangan bahwa hak politik Anas tidak perlu dicabut. Sehingga MA mengubah dan membuat keputusan untuk mencabut hak politik Anas.

Mahkamah Agung diketahui melipatgandakan hukuman Anas menjadi 14 tahun pidana penjara, denda Rp5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp57,59 miliar dan USD 5,261 juta.  Jika uang pengganti ini tidak dibayar, Anas harus menjalani hukuman selama 18 tahun.

Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme juga mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

"Pencabutan hak politik dilakukan karena korupsi tersebut dilakukan saat Anas menduduki jabatan politis," kata juru bicara MA, Suhadi, kepada wartawan di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (9/6).

Majelis kasasi berkeyakinan, Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindak Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 l jo UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU.

Anas yang semula diganjar hukuman 8 tahun penjara pada pengadilan tingkat pertama dan sempat dikurangi pada pengadilan banding Pengadilan Tinggi DKI menjadi 7 tahun. Ditingkat Kasasi hukumannya justru digandakan menjadi 14 tahun penjara. Majelis Hakim menyatakan, saat menjabat anggota Komisi X DPR RI dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR oleh Majelis Hakim dinyatakan Anas terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan proyek P3SON Hambalang.








BACA JUGA:
.