GRESNEWS - Maharani Suciono menambah daftar wanita yang tiba-tiba menjadi catatan, sorotan, dan rekaman media. Dalam sekejap dan pasti tanpa diduga olehnya, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu sontak menjadi newsmaker dan tampak sosok penting bagi pemberitaan. Setelah Rani Juliani, caddy golf, yang ikut terseret dalam kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, kini Maharani terus menjadi incaran pers.

Maharani dan Rani adalah perempuan yang diidentikan sebagai gratifikasi. Media menyebutnya kini dengan gratifikasi seks. Padahal jika dicermati pengakuan keduanya, mereka tidak mengetahui apa pun tentang kasus korupsi yang menjerat teman laki-lakinya. Namun, konstruksi media --dengan arogansinya-- meletakkan keduanya bukan sebagai wanita baik-baik.

"Ini kan refleksi paradigma masyarakat dan media yang sama, yaitu, diskriminasi terhadap perempuan termasuk stigmatisasi dan subordinasi perempuan. Artinya, media di Indonesia saat ini gagal menjadi agen transformasi terhadap paradigma masyarakat saat ini," ujar anggota Komisi III DPR, Eva Sundari Kusuma, ketika dihubungi Gresnews.com, di Jakarta, Rabu (6/2). "Bukan hanya kasus korupsi, perempuan sudah jadi objek pemberitaan yang sering dilecehkan dalam berbagai kasus kejahatan."

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menambahkan perempuan dalam pemberitaan media saat ini masih diperlakukan secara tidak fair. Media tidak sensitif dan responsif terhadap problem struktural perempuan dan masih mendiskriminasi soal seks.

Pernyatan Eva itu mengacu pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 8, "Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani."

Di sisi lain, Eva menyatakan ketidaksetujuannya terhadap perempuan yang diletakkan sebagai barang bukti, sebab ini menyangkut manusia. "Ada bahaya untuk kemudian pengadilan menjadi ajang pelecehan. Tindak pidana korupsi bergeser menjadi pengadilan moral ala polisi syariah. Bayangkan perempuan sebagai barang bukti di tengah masyarakat yang patriakhi."

Karena publik dibajak menggunakan gratifikasi seks oleh mafia, selanya, pengadilan bukannya membongkar mafianya, tetapi hanya alatnya saja (perempuan) yang dibongkar. "Jadi malah akan menjadi olok-olok dan pelecehan. Jadi harus jelas dulu, gratifikasi bisa macam macam termasuk menggunakan berlian, perjalanan rekreasi, beasiswa dan lain lain. Sepatutnya KPK tidak membuat sensasi yang mengumpankan perempuan sehingga pelecehan atau semua bentuk gratifikasi yang bisa dinormakan."

Menanggapi soal Maharani, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Restaria Hutabarat, menyatakan untuk masalah gratifikasi, yang harus dilihat pertama adalah pekerjaan pekerja seks komersial tidak diakui di Indonesia. Namun, permasalahan ini adalah permasalahan realitas sosial yang menempatkan kebanyakan dalam keadaan terpaksa.

"Penegak hukum harus melihat keberadaan perempuan secara hati hati. Apakah perempuan di posisiĀ  terpaksa atau tidak? Saya lebih sepakat kalau masalah gratifikasi seks diusut ke arah supplier," ujarnya ketika dihubungi Rabu (6/2).

Resta menambahkan, LBH Jakarta, wanita dalam hal gratifikasi seks, lebih tepat ditempatkan sebagai saksi. "Nilai tarif dalam perjanjian antara supplier yang membawanya sebagai nilai ekonomis gratifikasi. Pemberitaan seharusnya lebih kepada user dan supplier."

Hadiah Perkenalan
Sementara itu, Maharani mengakui dirinya menerima uang sebesar Rp10 juta dari Ahmad Fathanah ketika KPK menangkapnya bersama Fathanah di lobi Hotel Le Meredien, Jakarta Pusat, dalam dugaan suap daging sapi impor di Kementrian Pertanian. Maharani mengaku ia hanya mengunjungi cafe yang berada di lantai dasar Hotel Le Meredien itu.

Ia beralasan menerima uang karena tidak mau dianggap munafik. "Ditangkap katanya berdua saja. Masalah korupsi saya tidak tahu. Saya sebenarnya tidak kenal dengan Ahmad Fathanah," ujarnya ketika mengadakan konferensi pers, Senin (5/2).

Penasihat hukum Rani, Wisnu Wardaya, menyatakan uang yang diterima Rani dari Ahmad Fathanah adalah hadiah perkenalan dan tanda untuk mengenal lebih dekat.

BACA JUGA: