JAKARTA - Dua mantan Direksi PT BTN Persero Mansyur Syamsuri Nasution dan Hulumansyah mengungkapkan bahwa mereka sulit dan tidak tahu siapa pengambil keputusan utama karena di dalam standar operasional (SOP) tidak disebutkan siapa yang berhak mengambil keputusan final. Dalam aturan hanya disebut tiga orang direksi yang dapat mengambil keputusan dalam pemberian kredit properti kepada PT Titanium Properti dan PT Pelangi Putera Mandiri (PPM).

Hal itu dikatakan keduanya saat menjadi saksi di dalam sidang dengan terdakwa mantan Dirut PT BTN Maryono, Widhi Kusuma Purwanto (menantu Maryono), Ikhsan Hasan, Yunan Anwar dan Ghofir Effendi pada Senin (3/5/2021).

Kedua saksi itu kini menjadi Komisaris Mandiri Utama Finance Mansyur Syamsuri Nasution selaku mantan direktur komersial dan direktur kepatutan BTN, mantan Direktur keuangan BTN Hulumansyah.

Hulumansyah mengatakan tidak mengetahui ketika menjawab pertanyaan penasihat hukum terdakwa Maryono, mengenai apakah selama pemutusan, ada tiga direksi yang memutuskan. Seharusnya karena batas kredit yang diajukan diatas Rp100 miliar maka ada tiga orang direksi yang memutuskan untuk menyetujui atau tidak menyetujui.

"Saya tidak tahu," jawabnya.

Kemudian bisa dilaksanakan atau tidaknya hal itu, Hulumansyah pun mengatakan tidak tahu. "Saya tidak tahu," jelasnya.

Kemudian dia menuturkan mengenai apakah ada intervensi dari terdakwa Maryono selama pengajuan kredit PT PPM, Hulumansyah menegaskan tidak ada.

"Seingat saya tidak ada sama sekali," tuturnya.

Lalu apakah ada arahan dalam proses pengajuan kredit tersebut, dia mengatakan tidak ada.

"Tidak, tidak ada. Tidak ada. Pekerjaan saya selesai sewaktu saya mendatangani memo yang terakhir setelah itu tidak tahu lagi," tukasnya.

Sementara itu saksi Mansyur Syamsuri Nasution menjelaskan mengenai persetujuan pemberian kredit di atas Rp100 miliar, harus ditandatangani oleh tiga orang direksi. Namun apabila ada salah satu direksi yang tidak menandatangani atau memberikan persetujuan, bagaimana akibat hukumnya, tak diketahui.

"Kalau saya Pak, Saya jawab, bahwa namanya di dalam SOP kami tidak ada eksplisit menyampaikan bahwa kalau ada satu orang nggak setuju berarti kredit batal, itu tidak ada. Tapi dari judul pemutus kredit tiga orang (Direksi) berarti tiga tiganya harus setuju," kata Mansyur.

Kemudian, Ketua Majelis Hakim menegaskan kepada saksi Mansyur, berarti hal itu collective collegial dari tiga orang direksi itu karena kalau satu saja tidak setuju maka tidak mungkin.

"Keputusan bersama ada musyawarah, lalu keputusan itu adalah keputusan bersama yang direksi, itu maksudnya?" tegas Hakim.

Menurut Mansyur, dirinya mungkin kurang pas untuk menjawab hal tersebut. Hal itu lantaran didalam SOP tidak ada penjelasan apakah kredit itu harus diputuskan oleh semua dari ketiga direksi tersebut.

"Masing-masing direksi memberikan pertimbangannya semua," jelasnya.

Kemudian majelis hakim menanyakan kembali, apakah keputusan terakhir itu ada direktur utama atau tidak, bisa dirut mengambil keputusan bahwasanya kalau yang lain tidak setuju, dia bisa mengambil alih sendiri.

"Punya hak veto lah semacam itu?" cecar Hakim.

"Dari tiga anggota, direktur utama, Direktur Komersial saya (Mansyur), Direktur lain, (dan) yang memang tidak bisa digantikan Direktur Utama," jawab Mansyur.

Kemudian, bila direksi tidak setuju, bisakah itu dicairkan atau tidak disetujui atau tidak, Mansyur tak menjawab dengan jelas.

"Karena ini sirkuler mereka keliling, jadi nggak ketemu. Jadi yang menentukan itu, apakah yang pertanyaan mulia itu saya takut saya salah karena tidak ada eksplisit didalam SOP. Berjalan dengan sendirinya," ungkapnya.

Kemudian ketua hakim menegaskan bahwa dalam keputusan itu tentunya ada yang mempunyai keputusan mutlak pada akhirnya.

"Tentu ada endingnya pak, siapa yang menentukan itu?" cecarnya.

"Saya berpendapat yang mulia tadi dari susunan yang saya sampaikan," tukasnya.

Majelis hakim menilai bahwa saksi Mansyur menghadapi pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawabnya. Namun majelis hakim akan menilai keterangan dari saksi tersebut nantinya.

Sebelumnya terdakwa Dirut PT BTN Sumaryono, Widhi Kusuma Purwanto (menantu Maryono), dan Ikhsan Hasan, dan Yunan Anwar didakwa bersama sama terkait dugaan korupsi pengajuan kredit konstruksi PT Titanium Properti senilai Rp160 miliar dan PT Pelangi Putera Mandiri sebesar Rp117 miliar tahun 2013.

Kredit tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi bukan kepentingan proyek, dan diduga untuk memperkaya diri dan orang lain dan korporasi diantaranya memperkaya Dirut BTN Maryono. (G-2)

BACA JUGA: