JAKARTA - Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) telah melakukan langkah advokasi terhadap kasus tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI). Setelah mengamati secara cermat sikap, kebijakan dan penanganan kasus oleh Pemerintah dan Komnas HAM, yang dinilai masih jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan.

"Kami, TP3 enam warga sipil (Laskar FPI), dengan ini menyatakan akan melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan agar kasus pembunuhan atas enam warga sipil (Laskar FPI) terungkap jelas dan pelakunya diadili sesuai hukum yang berlaku," kata anggota TP3 Marwan Batubara melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Sabtu (23/1/2021).

Marwan melanjutkan, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam orang laskar FPI tewas dalam baku tembak. Hal itu karena mereka dianggap melakukan penyerangan terhadap jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS).

Belakangan pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua laskar FPI tewas dalam baku tembak dan empat lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil. "Polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur," kata Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Andi Rian.

Dari kompilasi infomasi yang dilakukan, TP3 menemukan fakta bahwa laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan dan dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak.

"TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya," jelas Marwan yang juga Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) tersebut.

Sebaliknya, kata Marwan, TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat polisi tersebut sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan alias extrajudicial killing.

Tindakan brutal aparat polisi ini merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas azas praduga tidak bersalah dalam pencarian keadilan, sehingga bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan yang berlaku.

"Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait," tegasnya.

TP3 menuntut pelakunya diproses hukum secara adil dan transparan. Sebagai pemimpin pemerintahan, TP3 meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi atas tindakan sewenang-wenang dalam kasus pembunuhan tersebut.

Selain itu, Marwan menerangkan, bahwa dalam konferensi pers 8 Januari 2021 kemarin, Komnas HAM menyatakan dua mobil laskar FPI menghalang-halangi tugas polisi mengintai HRS, sehingga terjadi bentrok yang menyebabkan dua laskar tewas. Penembakan empat laskar FPI lainnya dinyatakan sebagai unlawfull killing.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan empat orang tersebut meninggal saat berada dalam penguasaan kepolisian. "Maka peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM, karena tidak ada upaya lain untuk menghindari jatuhnya korban," kata Anam.

TP3 menyatakan bahwa pembunuhan enam laskar FPI oleh aparat negara tidak sekadar pembunuhan biasa dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Komnas HAM.

Namun atas hal itu, TP3 menyatakan sikap tegasnya bahwa tindakan aparat negara yang diduga melakukan pengintaian, penggalangan opini, penyerangan sistemik, penganiayaan, dan penghilangan paksa sebagian barang bukti merupakan kejahatan kemanusiaan.

"Sehingga dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)," ujar Marwan.

Pembunuhan enam laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang No.5 Tahun 1998. Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang No.26 Tahun 2000.

TP3 menilai penyerangan sistematis terhadap warga sipil enam Laskar FPI merupakan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka berat pada tubuh atau untuk kesehatan mental atau fisik.

Sampai saat ini, Negara Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan enam Laskar FPI dan tidak menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga mereka.

Menurut Marwan anggota Tim TP3 itu antara lain, 1. Prof. Dr. Muhammad Amien Rais, 2. KH. Dr. Abdullah Hehamahua, 3. Dr. Busyro Muqoddas, 4. KH. Dr. Muhyidin Djunaedi, 5. Dr. Marwan Batubara, 6. Prof. Dr. Firdaus Syam, 7. Dr. Abdul Chair Ramadhan, 8. Habib Muhsin Al-Attas, Lc, 9. Hj. Neno Warisman, 10. Edy Mulyadi, 11. Rizal Fadillah, SH, MH, 12. HM Mursalim R, 13. Dr. Bukhori Muslim, 14. Dr. Syamsul Balda, 15. Dr. Taufik Hidayat, 16. Dr. HM Gamari Sutrisno, MPS, 17. Ir. Candra Kurnia, 18. Adi Prayitno, SH dan lain sebagainya.

"Bagi kami, ini adalah satu pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: