JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Gebrakan KPK itu menunjukkan banyak lubang dalam penyaluran bansos COVID-19 sehingga rentan terjadi korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan beberapa kejanggalan terkait pengadaan bansos yang dikelola Kementerian Sosial. Mulai dari rencana umum pengadaan (RUP) yang tidak diungkap dalam sistem informasi rencana umum pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

"Saya juga tidak menemukan RUP terkait pengadaan bansos dengan penunjukan langsung yang dilakukan Kemensos, saya tidak menemukan RUP Kemensos," kata peneliti ICW Divisi Pelayanan dan Reformasi Birokrasi Dewi Anggraeni dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (14/12/2020).

Ia menjelaskan pihak Kemensos juga tidak tertera dalam laman layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) melainkan digabung dengan Kementerian Keuangan. Walaupun demikian, ICW tidak menemukan terkait pengadaan bansos untuk kemensos.

Dalam rincian tender sudah selesai dengan nilai pagu sebesar Rp12.952.500.000 dengan menggunakan dana APBN dan satuan kerja yaitu Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam. Kemudian Dewi merinci dari hasil evaluasi rekanan terdapat PT Citra Tiga Permata dengan nilai penawaran Rp12 miliar.

"Nilai tersebut mendekati nilai pagu paket, kemudian penawaran terkoreksi hasil negosiasinya hanya berkurang Rp100 juta," ungkap Dewi.

Kemudian, Dewi menuturkan, ICW juga tidak menemukan informasi penyedia PT Rajawali Parama Indonesia dari LPSE Kementerian Keuangan. Sementara itu dalam mesin pencarian di google tidak ada informasi detailnya.

"Ternyata perusahaan ini berdiri pada 4 Agustus 2020, dijelaskan bahwa perusahaan ini bergerak di banyak bidang yang mana ternyata di bidang perdagangan besar makanan, minuman dan tembakau," kata Dewi.

Tidak hanya itu, asal usul terkait PT Citra Tiga Permata pun tidak ditemukan. Pihak ICW, kata Dewi melihat dalam akta perusahaan berdiri 15 Maret 2019. Perusahaan ini bergerak di banyak bidang salah satunya penyediaan makanan dan minuman, perdagangan besar, makanan dan minuman lainnya dan tembakau.

Tidak hanya sampai di situ, menurut Dewi, pihak Kemensos tidak melakukan identifikasi kebutuhan yang ada di lapangan. Terjadi jual beli penunjukan penyedia dan surat perintah kerja (SPK) dari PPK. Sehingga, kata Dewi penunjukan penyedia tidak sesuai dengan ketentuan yaitu berpengalaman di pengadaan sejenis dan juga penunjukkan penyedia didasarkan suap atau konflik kepentingan.

"Melakukan pelunasan pembayaran padahal pekerjaan belum selesai," ungkap Dewi.

Sementara Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) menyatakan masih banyak kementerian dan lembaga yang memang belum menjalankan ketentuan pengadaan di masa darurat kesehatan masyarakat akibat pandemi COVID-19.

Padahal, kata Kepala Seksi Keterangan Ahli Pekerjaan Konstruksi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Mira Erviana, ketentuan tersebut sudah disosialisasikan melalui Surat Edaran Kepala LKPP nomor 3 tahun 2020.

Salah satunya adalah tetap melakukan transparansi dalam pengadaan barang melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE).

"Belum semua pemerintah melakukan kewajiban penuh terhadap SE Kepala LKPP nomor 3/2020 di mana harusnya proses penunjukan langsung pun melakukan penginputan kembali. Ada proses pencatatan bahwa benar dia transaksi penanganan covid-19. Misalnya pada penyediaan barang, sebutkan nilai kontraknya, perusahaannya apa," ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk Mengurai Pengadaan Covid-19: Sejauh Mana Publik Bisa Mengawasi yang digelar Indonesia Corruption Watch, Jumat (11/12).

Meski demikian Mira memastikan pihaknya telah melakukan evaluasi dan terus mengingatkan kementerian dan lembaga untuk mematuhi rambu-rambu pengadaan barang dan jasa yang tertuang dalam surat edaran tersebut. Sehingga, meski pengadaan dilakukan melalui penunjukan langsung, publik tetap bisa ikut mengawasi. Harusnya akhir tahun ini bisa disclose terkait apa saja belanja pemerintah terkait penanganan COVID-19 dan berapa besar. Jadi meskipun pengadaan dilakukan melalui penunjukan langsung, publik tetap bisa ikut mengawasi.

"Harusnya akhir tahun ini bisa disclose terkait apa saja sih belanja pemerintah terkait penanganan covid dan berapa besar. Itu seharusnya bisa ter-capture dari sana," tuturnya.

Sebelumnya Menteri Sosial Juliari Batubara dijerat KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap bansos COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Juliari diduga menerima fee sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu

Selain Juliari KPK juga menjerat Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai pejabat pembuat komitmen di Kemensos. Dua orang lainnya sebagai pemberi yakni Ardian IM dan Harry Sidabuke. Keduanya dari pihak swasta

Penerimaan suap terhadap Juliari bermula dari pengadaan bansos penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun untuk total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode. Untuk memuluskan itu, Juliari diduga menerima fee dari tiap-tiap paket bansos.

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, Juliari diduga telah menerima fee sebesar Rp8,2 miliar dari total uang Rp12 miliar yang diterima oleh Matheus. Uang untuk Juliari diberikan Matheus melalui Adi Wahyono.

Pemberian uang tersebut dikelola oleh seseorang bernama Eko dan Shelvy N selaku Sekretaris di Kemensos yang juga orang kepercayaan Juliari. Uang itu digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

Sementara untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos ini terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp8,8 milir. Firli menduga uang tersebut juga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.

Kasus ini diungkap melalui operasi tangkap tangan pada 5 Desember 2020 dini hari di beberapa tempat di Jakarta. Tim penindakan KPK mengamankan uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang yaitu sekitar Rp11,9 miliar, sekitar US$171,085 (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar Sin$23.000 (setara Rp243 juta). (G-2)

BACA JUGA: