JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka korupsi, Rabu (25/11/2020) malam.

Politikus Partai Gerindra pimpinan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu diduga menerima sejumlah uang suap atas perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas sejenis lain tahun 2020.

Selain Edhy, yang menjadi tersangka juga adalah pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi Pranoto Loe. Siswadi berjanji bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuka semua data terkait ekspor bibit alias benur lobster. Siswadi sudah menyatakan sikap tersebut kepada penyidik KPK yang menangani perkaranya pada 2 Desember 2020.

"Kita sudah layangkan surat per 2 Desember bahwa Pak Siswadi berjanji akan kooperatif selama proses penyidikan," kata penasihat hukum Siswadi, Petrus Bala Pattyona, kepada Gresnews.com, Senin (7/12/2020).

Menurut Petrus, semenjak proses penggeledahan yang terjadi di kantor kliennya pada 30 November 2020 yang disaksikan seluruh karyawan, Siswadi dan perusahaannya sudah kooperatif memberikan seluruh data ekspor benur yang menjadi perkara hukum di KPK.

"Kami sampaikan ke penyidik Pak Novel (Baswedan) dan Pak Damanik, seluruh karyawannya akan bekerja sama dengan KPK untuk mengungkap ini semua. Bagaimana keterlibatan pak Siswadi atau staf-stafnya dalam proses pengiriman benur lobster," ungkap Petrus.

Selain itu, Siswadi juga sudah mengembalikan semua keuntungan sejak proses ekspor Benur berjalan.

"Semua uang keuntungan dan yang didapat pemegang saham sebagai pemegang deviden sudah dikembalikan semua," tutur Petrus.

Petrus menuturkan penyerahan berkas dan data dokumen di antaranya adalah daftar perusahaan eksportir benur. "Ada 42," ungkapnya.

Akan tetapi, dia masih menutup rapat informasi detail mengenai 42 perusahaan itu dan menyerahkan ke KPK untuk menindaklanjutinya.

Kemudian, Petrus meluruskan informasi terkait kedudukan kliennya di PT ACK tersebut. "Pak Siswadi di ACK gak ada (jabatan). Lewat PT Perishable Logistics Indonesia (PLI), klien kami menempatkan Yudi Surya Atmaja sebagai pemegang saham," jelasnya.

Siswadi ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo beserta lima orang lainnya dalam kasus suap izin ekspor Benur Lobster.

Lima orang tersebut antara lain, 1. Stafsus Menteri KKP, Safri (SAF), 2. Staf khusus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misata (APM), 3. Staf Istri Menteri KKP, 4. Ainul Faqih (AF), dan Amiril Mukminin (AM).

Untuk satu tersangka lain sebagai pemberi suap adalah chairman holding company PT Dua Putera Perkasa (DPP) yang sekaligus dikabarkan calon besan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), Suharjito (SJT).

Oleh KPK, Siswadi termasuk sebagai penerima dan disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara pemeriksaan terbaru di KPK pada Senin, (7/12/2020) mengenai kasus dugaan TPK suap terkait perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020, memeriksa tersangka Edhy Prabowo dan kawan-kawan.

Selain Edhy, KPK juga melakukan pemeriksaan kepada Betha Maya Febiana, pegawai PT DPP untuk dikonfirmasi mengenai proses dan data aktifitas keuangan PT DPP.

Selanjutnya memeriksa Deden Deni, KPK melakukan pendalaman mengenai pengetahuan Deden tentang aktifiitas PT ACK dalam pengajuan permohonan izin ekspor benur lobster di KKP.

Kasus ini berawal ketika Edhy menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (due diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020.

Ia menunjuk dua staf khususnya, Andreau dan Safri, sebagai ketua dan wakil ketua pelaksana tim. Mereka ditugaskan memeriksa kelengkapan administrasi yang akan diajukan calon eksportir benur.

Pada era Edhy kebijakan ekspor benur alias benih lobster dilegalisasi, setelah pada era Susi Pudjiastuti dilarang karena dianggap lebih banyak ruginya. Oleh karena itu, ketika kabar penangkapan Edhy muncul, Rabu pagi, perhatian publik terhadap Susi pun meningkat.

Sebagai pemimpin tim pelaksana, pada Oktober lalu Safri menerima kunjungan Direktur PT DPP Suharjito di lantai 16 kantor KPP. Perusahaan ini adalah calon eksportir benih lobster. Di sana dinyatakan bahwa ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK. Amiril, Andreau, dan Siswadi selaku pengurus PT ACK mengatakan biaya angkut sebesar Rp 1.800 per ekor.

Kesepakatan terjadi. Atas perintah Edhy, Tim Uji Tuntas memberikan hak ekspor benur kepada PT DPP. PT DPP mentransfer duit Rp 731.573.564 ke rekening PT ACK. Pengiriman menggunakan PT ACK telah dilakukan sebanyak 10 kali.

PT ACK ini `dipegang` oleh Amri dan Ahmad Bahtiar. Uang dari PT DPP dialirkan ke mereka berdua. Termasuk dari PT DPP, KPK menduga PT ACK juga menerima duit dari beberapa eksportir lain yang totalnya mencapai Rp9,8 miliar.

Di sinilah masalahnya, Nawawi bilang meski di atas kertas PT ACK dipegang oleh Amri dan Ahmad, keduanya diduga hanya nominee alias pinjam nama. Siapa yang meminjam? Tidak lain pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.

Setelah dapat uang dari para eksportir, Ahmad diduga mentransfer Rp 3,4 miliar ke rekening staf istri MenKKP Ainul Faqih pada 5 November 2020. Uang itu dipakai untuk keperluan pribadi Edhy dan istri serta Safri dan Andreau. EP dan IRW (Iis Rosita Dewi, istri Edhy Prabowo) menggunakan uang itu untuk belanja barang mewah di Honolulu, AS, tanggal 21-23 November 2020, sejumlah sekitar Rp 750 juta, berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

Di samping itu, Nawawi bilang Edhy juga diduga pernah menerima uang sebesar US$100 ribu dari Suharjito melalui Amiril pada Mei 2020. Sementara Safri dan Andreau diduga menikmati uang sebesar Rp 436 juta, juga dari orang yang sama. (G-2)

BACA JUGA: