JAKARTA - Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat di Kementerian Sosial (Kemensos) RI pada Sabtu (5/12/2020) dan berlanjut penetapan tersangka Menteri Sosial Juliari P. Batubara merupakan momentum pemerintah memperbaiki Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) terkait penanganan Covid-19.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak awal program bansos dan penanganan Covid-19 lainnya, seperti belanja alat keselamatan kesehatan, telah memetakan potensi masalah dan menyampaikan rekomendasi kepada kementerian terkait, termasuk Kementerian Sosial.

"Masalah tersebut setidaknya terkait PBJ yang dilakukan dengan metode penunjukan langsung dan distribusinya," kata Peneliti ICW Almas Sjafrina kepada Gresnews.com, Selasa (18/12/2020)

Menurutnya terkait bansos, masalah distribusi misalnya adanya pemotongan, pungutan liar, inclusion dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update, hingga politisasi.

"Salah satu dorongan kami adalah dengan membuat PBJ direncanakan serta dikelola secara transparan, misalnya menginformasikan perencanaan pengadaan di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) dan mempublikasikan realisasi pengadaan," ujarnya.

Dengan begitu, lanjut Almas, publik dapat mengawasi apakah pengadaan telah dilakukan dengan mematuhi ketentuan pengadaan. Kondisi darurat pada dasarnya bukan pembenar untuk kemudian menutup informasi dan melakukan pengadaan di ruang gelap, mengingat pengadaan darurat mempunyai potensi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang cukup tinggi.

Peneliti ICW lainnya Dewi Anggraini mengatakan terdapat setidaknya empat masalah utama terkait dengan PBJ di tengah Covid-19. Pertama, pemetaaan atau identifikasi kebutuhan yang tidak berdasarkan kebutuhan lapangan.

Kedua, terjadi jual beli penunjukan penyedia dan Surat Perintah Kerja (SPK) dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hal ini mengakibatkan penunjukan penyedia tidak sesuai dengan ketentuan penunjukan penyedia dalam keadaan darurat, yaitu penyedia yang telah berpengalaman atau pernah menyediakan barang sejenis di instansi pemerintah atau penyedia dalam e-katalog.

Penunjukan penyedia kemudian didasarkan suap atau adanya konflik kepentingan yang membawa keuntungan baik untuk PPK maupun pejabat terkait.

Ketiga, potensi penyedia yang ditunjuk oleh PPK hanya penyedia yang mempunyai modal dan kemudian melakukan sub con pekerjaan utama kepada pihak atau perusahaan lain. Hal ini umumnya menimbulkan pemahalan harga tak wajar atau mark up.

Menurutnya fenomena ini tak hanya potensial terjadi dalam pengadaan darurat, melainkan telah umum terjadi dalam PBJ kondisi normal.

Keempat, melakukan pelunasan pembayaran padahal penyedia belum menyelesaikan pekerjaan atau belum dilakukan pemeriksaan yang memadai terhadap hasil pekerjaan.

Program bansos, baik tunai maupun sembako, adalah program yang sangat dibutuhkan warga saat ini. Banyak warga tak hanya berkurang pendapatannya, tetapi juga kehilangan pekerjaan.

"Fakta bahwa ternyata bantuan yang diberikan oleh pemerintah dikorupsi oleh pejabat Kementerian Sosial, garda utama pemerintah dalam pelaksanaan program pemberian bansos, sangat mengecewakan dan melukai warga," ungkapnya.

Bahkan suap atau pemberian hadiah sedikitnya Rp17 miliar dari penyedia disebut KPK diterima oleh Menteri Sosial yang belum lama menjabat dan kerap mencitrakan dirinya sebagai menteri yang mempunyai komitmen antikorupsi dan peduli atas kesulitan warga di tengah pandemi Covid-19.

ICW menduga praktik penerimaan suap ini bukan pertama kali terjadi pada pengadaan bansos sembako Covid-19. KPK perlu menelusuri dugaan terjadinya praktik serupa dalam pengadaan bansos sembako sebelum-sebelumnya.

Bahkan, praktik penerimaan suap dari penyedia PBJ juga terjadi tak hanya terkait pengadaan bansos, melainkankan juga pengadaan penanganan Covid-19 lainnya di kementerian/ lembaga lain dan pemerintah daerah.

Penanganan korupsi terkait pandemi Covid-19 ini patut dijadikan sebagai prioritas mengingat dampaknya yang sangat besar bagi warga dan juga keuangan negara.

Anggaran TA 2020, baik di tingkat pusat dan daerah, telah banyak direalokasikan untuk penanganan Covid-19. Total anggaran untuk bansos saja mencapai Rp 203,5 triliun, dengan realisasi per Oktober 2020 mencapai 89,41%. Jika nyatanya anggaran tersebut juga dikorupsi, penanganan Covid-19 juga tidak akan maksimal.

Sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri menetapkan Mensos Juliari sebagai tersangka. Kasus ini berawal dari kegiatan tangkap tangan oleh KPK. Dari kegiatan itu berhasil mengamankan lima orang pada hari Sabtu 5 Desember 2020 sekitar jam 02.00 Wib di beberapa tempat di Jakarta.

Firli menuturkan peristiwa tangkap tangan itu dimulai pada 4 Desember 2020, Tim KPK menerima informasi dari masyarakat akan adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh AIM dan HS kepada MJS, AW dan JPB (Juliari P Batubara). Sedangkan khusus untuk JPB pemberian uangnya melalui MJS dan SN (orang kepercayaan JPB).

Penyerahan uang akan dilakukan pada hari Sabtu tanggal 5 Desember 2020, sekitar jam 02.00 Wib di salah satu tempat di Jakarta. "Uang sebelumnya telah disiapkan AIM dan HS disalah satu apartemen di Jakarta dan Bandung, yang disimpan dalam 7 koper, 3 tas ransel dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14,5 miliar," tuturnya.

Kemudian, KPK langsung mengamankan MJS, SN dan pihak-pihak lain dibeberapa tempat di Jakarta. Selanjutnya mereka diamankan beserta uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar dan dibawa ke KPK untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Dari hasil tangkap tangan ini ditemukan uang dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing sejumlah sekitar Rp11,9 miliar, sekitar US$171,085 (Rp2,420 M) dan sekitar SG$23.000 (Rp243 juta).

Dugaan korupsi itu dimulai ketika adanya pengadaan Bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode.

Juliari P Batubara (JPB) sebagai Mensos menunjuk MJS dan AW sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek tersebut. Dengan cara penunjukkan langsung para rekanan, dan diduga disepakati dan ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.

"Untuk fee tiap paket Bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket Bansos," terang Firli.

Lalu MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang diantaranya AIM, HS dan juga PT RPI (Rajawali Parama Indonesia) yang diduga milik MJS. "Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," tutur Firli.

Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 Miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.

Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB.

Selanjutnya di periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sebesar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB.

Dari lima orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tiga orang dinyatakan sebagai Penerima, 1. JPB, 2. MJS, dan 3. AW. Sedangkan dua orang Pemberi yaitu, 1. AIM, 2. HS.

MJS dan AW sebagai Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Untuk JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: