JAKARTA - Awan gelap terkait masalah red notice Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra perlahan mulai tersibak. Brigjen Nugroho Slamet Wibowo pun menceritakan perihal mekanisme red notice itu.

Brigjen Nugroho sebelumnya merupakan Sekretaris National Central Bureau (Ses NCB) Interpol Indonesia selama dua bulan. Namun setelah ramai pemberitaan mengenai Joko Tjandra muncul, Nugroho dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri.

Nugroho dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Tommy Sumardi.

"Bisa singkat ceritakan mekanisme penghapusan red notice?," tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sopan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Selasa (24/11/2020).

Nugroho menjelaskan red notice terhapus apabila tersangka meninggal dunia, hal lainnya bila ada permintaan dari pemohon red notice (untuk permintaan penghapusan red notice).

Menurutnya red notice apabila sudah habis masa berlakunya yakni selama 5 tahun maka secara sistem akan terhapus sesuai dengan ketentuan dari interpol.

Untuk status red notice Joko Tjandra, Nugroho mengetahui setelah menjadi Sekretaris NCB Interpol Polri Divisi Hubinter, pada 10 Juli 2009.

"Sebetulnya 2014 itu sudah terhapus, namun akses mungkin masih bisa tapi tidak bisa terbaca lagi. Hanya akses melihat saja," kata Nugroho. Untuk subjek red notice selama dalam database masih bisa dideteksi.

Untuk red notice Joko Tjandra, menurut Nugroho, kalau ada ditemukan informasi dari negara subjek red notice itu masuk ke negara tersebut, apabila negara tersebut memberikan informasi maka NCB Interpol bisa meminta pada negara tersebut untuk melakukan proses penangkapan atau penahanan sementara sampai dengan proses ekstradisi.

"Artinya, kalau sudah terhapus bagaimana, tidak bisa lagi dilakukan upaya tersebut?" tanya  Sopan.

"Kalau sudah tidak ada dalam database tidak bisa," jawab Nugroho.

Menurut Nugroho, terhapusnya status red notice Joko Tjandra saat masuk tahun 2020. Ia menerima informasi berupa data yang dibacanya pada Januari 2019.

Data itu berupa informasi dan pertanyaan, apabila tidak ada jawaban dari negara yang meminta maka dia akan menghapus.

Namun, Nugroho mengatakan pada Januari 2019 red notice Joko Tjandra tidak serta merta tidak aktif lagi. Aktif itu kalau data yang menyertainya masih lengkap. Bila tidak ada permintaan perpanjangan hingga Juni 2019 maka red notice akan terhapus.

Nugroho mengatakan red notice Joko Tjandra sudah tidak valid itu sejak 2014.

"Karena paspor yang diajukan tahun 2007 dan tahun 2014 sudah grounded. Sudah tidak terbaca lagi dalam sistem tapi masih bisa dilihat nama dan datanya saja dari pemberitahuan Kabag (Hubinter Polri)," kata Nugroho.

Menurut Jaksa, pada tanggal 4 Mei 2020, melalui surat 1032/V/2020 NCB DivHI, saksi Nugroho mengirimkan surat ke Dirjen imigrasi up DirWasdakin. Intinya bahwa sistem basis data interpol sejak tahun 2014 telah terhapus dari sistem basis data interpol sejak 2015. Disini ada Klausul kalimat bahwa telah terhapus dari sistem basis data interpol sejak tahun 2014.

"Apa dasar saudara masukan poin ini dalam surat yang saudara tanda tangani. Padahal saudara mengetahui bahwa di 2019 itu masih alert, masih ada peringatan ke interpol. Kenapa didalam surat ini sudah terhapus di tahun 2014?," tanya Sopan.

"Hasil rapat dengan Kadivhubinter menyatakan bahwa surat itu sebetulnya 2014 sudah ter-grounded," kata Nugroho. "(Tapi) masih bisa dilihat," sambungnya.

Menurut Nugroho, status red notice saat itu hanya muncul nama, dan data itu saja dalam laporan red notice menurut laporan kabag Hubinter. Karena dia tidak pernah membuka sistem tersebut dan hanya menerima laporan dari bawahan.

Jaksa pertanyakan kembali dasar isi surat yang dikirim Nugroho kepada imigrasi bahwa pada tahun 2014 yang berisi surat red notice Joko Tjandra sudah terhapus. Dari hasil rapat yang Nugroho ikuti saat itu Januari 2019 bahwa red notice Joko Tjandra telah tergrounded dari asal arahan Kadivhubinter.

Dari surat email interpol pusat (Lyon Perancis) dari IPSQ ke NCB yang menyatakan ini mau habis. Jika tidak dilakukan perpanjangan atau update data dengan mengklik cancel, atau bottom if you not action wis sixteen month, tidak melakukan aksi dalam 6 bulan ini akan terhapus.

Nugroh menjelaskan dalam surat ini jelas dikatakan bahwa jika tidak diambil tindakan dalam 6 bulan terkait status red notice itu akan terhapus. Will be cancel and will be deleted interpol data base. Jelas dikatakan disana terhapus yakni pada 10 Juli 2019.

"Ini menjadi pertanyaan, apa dasar saudara menyampaikan kepada Dirjen imigrasi bahwa terhapus dari sistem data base interpol adalah ditahun 2014?," tanya Sopan.

"Itu arahan dari Kadivhubinter untuk mengonsep surat seperti ini. Dengan pertimbangan bahwa 2014 itu tidak ada perpanjangan, kemudian data ini yang menjadi tergrounded," Kata Nugroho.

Nugroho mengakui tidak memiliki data tersebut. Hanya arahan dari Kadivhubinter terkait 2014 sehingga atas dasar tersebut Nugroho menyetujui semua surat-surat yang diterbitkan setelahnya.

Selain itu, Jaksa mencecar kembali, bahwa terkait poin-poin dalam surat tersebut, apakah saudara pernah meminta ini dikoreksi atau misalnya saudara meragukan, "atau bagaimana, pernah?" tegas Sopan.

"Saya bertanya kepada Kabag (Hubinter), yang menyampaikan surat itu kepada saya untuk tandatangan. Saya tanyakan, sudah benar? Dijawab sudah benar, sudah arahan dari pimpinan, sudah dari arahan dari Kadivhubinter. Lalu kalau sudah diarahkan oleh pimpinan, apa iya saya harus mengoreksi lagi. (Intinya setelah itu tanda tangan)," tukas Nugroho.

Tommy Sumardi didakwa bersama-sama dengan Joko Soegiarto Tjandra memberi uang kepada Irjen Napoleon Bonaparte Kadivhubinter Polri sebesar US$200.000 dan US$270.000 dan kepada Brigjen Prasetijo Utomo Kakorwas PPNS Bareskrim Polri sebesar US$150.000.

Suap itu ditujukan agar Napoleon dan Prasetijo menghapus nama Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) di Ditjen Imigrasi Kemenkumham.

Kasus ini bermula dari keinginan Joko Tjandra masuk ke Indonesia untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) pada awal April 2020. Joko Tjandra ingin mengajukan PK atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cease) Bank Bali.

Kemudian, Joko Tjandra meminta Tommy menanyakan perihal status red notice di interpol atas namanya kepada NCB Interpol Polri di divisi hubungan internasional. Ia bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar kepada pihak yang mau membantunya.

Tommy kemudian meminta bantuan Brigjen Prasetijo. Lalu Tommy diperkenalkan kepada Irjen Napoleon sebagai Kadivhubinter Polri oleh Prasetijo.

Pada 16 April 2020, Tommy bertemu Napoleon diruangannya, Mabes Polri dan bertanya perihal status red notice Joko Tjandra. Napoleon mengaku akan mengecek hal itu.

Esoknya, 17 April 2020, Tommy dan Napoleon kembali bertemu. Menurut Jaksa, Napoleon meminta sejumlah uang kepada Tommy saat itu.

Selanjutnya, pada, 27 April 2020, Joko Tjandra memberikan uang US$100.000 kepada Tommy melalui orang lain. Dihari yang sama, Tommy bersama Prasetijo menemui Napoleon untuk menyerahkan uang tersebut.

Singkatnya, setelah menerima uang terakhir 5 Mei 2020, Napoleon menerbitkan surat penghapusan interpol red notice atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari basis data interpol sejak tahun 2014.

Akhirnya, setelah surat yang dikirim dari Divisi hubungan internasional Polri kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham maka status DPO Joko Tjandra dihapus dari sistem Imigrasi. Kemudian, Joko Tjandra kedepannya mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020.

Tommy Sumardi didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf A atau huruf b atau Pasal 11 UU nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20/2001 tentang pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: