JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji diputus tetap bersalah di tingkat Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, kendati dalam putusan banding itu terdapat pendapat berbeda (Dissenting Opinion) di antara majelis hakim, seperti yang terjadi saat putusan di tingkat pertama (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat).

Namun, penasihat hukum Nur Pamudji, Julius Singara, menyatakan pihaknya belum menerima salinan putusan banding yang memberatkan kliennya tersebut.

"Kami masih menanti salinan putusan banding untuk dipelajari sebelum menentukan sikap," kata Julius kepada Gresnews.com, Sabtu (21/11/2020).

PT DKI Jakarta memperberat vonis terhadap Nur Pamudji. Dalam putusan banding Nomor: 36/PID.SUS-TPK/2020/PT.DKI tanggal 4 November 2020, majelis hakim menambah hukuman penjara Nur Pamudji dari 6 tahun menjadi 7 tahun dengan perintah penahanan. PT DKI juga menambah pidana denda dari Rp200 juta menjadi Rp300 juta.

Permohonan banding diajukan oleh baik jaksa penuntut umum maupun Nur Pamudji atas putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Nomor: 94/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Juli 2020.

PT DKI Jakarta menilai alasan kedua belah pihak dalam memori banding harus ditolak. Pertimbangan pengadilan tingkat pertama terhadap perbuatan korupsi Nur Pamudji selaku Direktur Energi Primer PT PLN (Persero) periode 2009-2011 dan selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) periode 2011-2014 secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider sudah tepat dan benar.

Menurut majelis hakim banding, Nur Pamudji terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi dengan tujuan menguntungkan Honggo atau Tuban Konsorsium bersama-sama dengan Honggo Wendratno selaku Direktur Utama PT Trans-Pasifik Petrochemical Indotama (TPPI) dan selaku Ketua Tuban Konsorsium.

Nur Pamudji dinilai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, yaitu dengan menetapkan Tuban Konsorsium sebagai pemenang lelang dalam pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) yang tidak sesuai dengan hasil kualifikasi Panitia Pengadaan.

Akibatnya, terjadi kerugian keuangan negara cq PT PLN (Persero) sebesar Rp188.745.051.310,72.

Majelis hakim banding menyatakan, Nur Pamudji terbukti melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 (1) ke-(1) KUHPidana.

"Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa Nur Pamudji dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sejumlah Rp300 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Memerintahkan agar Terdakwa ditahan di Rutan," kata hakim James saat pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (19/11/2020).

Kembali ke Julius, menurutnya, latar belakang tim kuasa hukum mengajukan banding karena kecewa atas putusan akhir pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 13 Juli 2020. Karena yang dibacakan oleh ketua majelis hakim fakta-faktanya tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan, baik saksi-saksi maupun alat bukti.

Contoh paling sederhana, kata Julius, hakim mengatakan bahwa ada perpanjangan waktu pengadaan. Faktanya semua saksi mengatakan perpanjangan waktu itu kesepakatan antara ketua panitia dengan seluruh peserta.

Bahkan Nur Pamudji pun tidak tahu menahu. Dan itu memang sesuai dengan peraturan dan ada bukti-bukti serta bukti-bukti surat yang merekam semua peristiwa tersebut.

"Itu salah satu contoh dari kami dan dari apa yang disampaikan hakim itu juga tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan," jelas Julius.

Menurutnya, dalam putusan Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, ada dissenting opinion dari hakim anggota satu. Bahwa Nur Pamudji harusnya dikasih penghargaan. "Wong, jelas-jelas para ahli mengatakan ini keuntungan negara kok, kok kerugian negara," tutur Julius.

Julius menegaskan bukti Nur Pamudji adalah hasil audit terhadap transaksi ini. Auditor mengatakan bahwa transaksi ini menguntungkan negara. Hakim di Pengadilan Tipikor dan hakim tinggi di PT setuju bahwa terbukti tidak ada kerugian negara.

"Pada putusan tingkat banding, ada dissenting juga," tegasnya.

Dalam putusan majelis hakim PT DKI memang tidak bulat. Sebab seorang hakim anggota, Lafat Akbar, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Lafat menilai Nur Pamudji tidak terbukti korupsi pengadaan BBM. Sehingga ia menilai Nur Pamudji harus divonis lepas dari segala tuntutan hukum.

Lafat berargumen, Nur Pamudji selama menjabat Direktur Energi Primer PLN 2009-2011 dan Dirut PLN 2011-2014 khususnya pengadaan BBM HSD telah sesuai aturan hukum.

"Justru terdakwa Nur Pamudji telah berusaha menghemat penggunaan keuangan negara dan telah memberikan hasil penghematan keuangan negara rata-rata setiap tahun sejumlah Rp351.016.281.301," ucap Lafat.

Julius berkata, "Di Indonesia UU Tipikornya lebay, di mana-mana, esensi korupsi itu menguntungkan diri sendiri. Kalau tidak ada keuntungan pada diri sendiri apapun bentuknya, apa layak disebut korupsi? UU Tipikor itu harusnya diubah, perkuat KPK dan hanya KPK saja yang menangani kasus korupsi," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: