JAKARTA - Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra mengajukan eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus surat jalan palsu. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Selasa (20/10/2020), Joko menolak bila disebut JPU melarikan diri ke luar negeri. Ia juga merasa sebagai korban peradilan sesat.

Penasihat hukum terdakwa Joko Tjandra, Soesilo Ariwibowo, menjelaskan JPU mengawali Surat Dakwaan dengan memberikan narasi tentang status Joko sebagai Terpidana. Hal itu berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung R.I Nomor: 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 dengan putusan dua tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta subsidair tiga bulan kurungan serta uang di Bank Bali sebesar Rp546 miliar dirampas negara.

Ia melanjutkan, seperti dinarasikan JPU dalam dakwaannya, Joko melarikan diri, sehingga sejak 17 Juni 2009 ditetapkan dalam status buronan oleh Kejaksaan Agung.

"Walaupun kejadian yang sebenarnya Terdakwa Joko tidak melarikan diri, tetapi pada saat Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung itu dijatuhkan, Terdakwa Joko sudah berada di luar negeri dan tidak mau kembali ke Indonesia untuk menjalani putusan yang bertentangan dengan hukum, yakni bertentangan dengan Pasal 263 KUHAP, dan merupakan miscarriage of justice (peradilan sesat), dan menyebabkan ketidakadilan," terangnya.

Joko menolak menjalani hukuman pidana penjara dua tahun yang merupakan hasil dari suatu peradilan sesat. Bukan saja karena dirasakan sebagai ketidakadilan bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga bagi siapapun. Sebab seperti dikatakan Martin Luther King Jr, dalam suratnya dari Penjara Birmingham, Injustice anywhere is a threat to justice everywhere (ketidakadilan di mana pun merupakan ancaman bagi keadilan di mana pun).

"Kami berterimakasih kepada JPU karena dengan narasi awal dalam Surat Dakwaan tentang Terdakwa Joko itu, JPU mengingatkan kita kembali bahwa Joko Tjandra bukan penjahat, bukan pelaku tindak pidana dalam perkara Cessie Bank Bali," ujar Soesilo.

Menurutnya Joko adalah korban peradilan sesat yang bermula dari pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa di tahun 2009 atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 yang melepaskan Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra dari segala tuntutan hukum (onstlaag van rechtsvervolging).

Putusan itu diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No. 1688K/Pid/2000, tanggal 28 Juni 2001 yang menolak permohonan Kasasi Penuntut Umum Kejari Jakarta Selatan.

Dari perspektif koreksi atas peradilan sesat dan demi tegaknya keadilan dalam Negara Hukum, maka berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04/BUA.6/HS/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 12 Mei 2016, seharusnya Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung R.I Nomor:12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 atas Terdakwa Joko Sugiarto Tjandra gugur, dan perkara atas diri Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra saat ini serta perkara terkait lainnya, tidak perlu terjadi.

"Tetapi kita sepertinya enggan mengoreksi kesalahan dan suka membiarkan ketidakadilan itu terus terjadi, bahkan cenderung menimpakan tangga kepada korban yang sudah jatuh seperti yang dialami korban miscarriage of justice, korban ketidakadilan Terdakwa Joko Tjandra, yang saat ini ditimpakan lagi oleh dakwaan Penuntut Umum dalam persidangan ini," katanya.

Selain itu, ia menilai JPU tidak cermat dalam membuat surat dakwaan. Disebutkan salah satunya terkait kesalahan penulisan nama dan alamat tempat tinggal Joko Tjandra.

"Bahwa dalam surat dakwaan, penuntut umum tidak cermat, korektif, teliti dalam menuliskan nama terdakwa. Pada bagian identitas terdakwa, penuntut umum menulis nama yang bukan merupakan nama terdakwa, yakni Joko Soegiarto dan Joe Chan bin Tjandra Kusuma. Di bagian dakwaan primer, penuntut umum menulis dua kali nama yang bukan merupakan nama Terdakwa. Beragama Katolik sehingga tidak pernah mengenal nama `bin`," sebut dia.

"Oleh karena itu, sudah semestinya dianggap telah terjadi error in persona dan surat dakwaan Penuntut Umum ini tidak cermat. Oleh karena itu, sudah semestinya surat dakwaan penuntut umum dinyatakan batal demi hukum," sambungnya.

Selain itu, Joko Tjandra juga membantah pernah melakukan pertemuan bersama terdakwa Anita Kolopaking dan Prasetijo Utomo. Terpidana kasus hak tagih Bank Bali itu juga menyatakan tidak pernah mengunjungi Mabes Polri.

Sebab, pada 3 Juni 2020 sampai dengan 20 Juni 2020, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu di tahun 2020, Joko Soegiarto Tjandra tidak pernah bersama-sama dengan Anita Dewi A Kolopaking dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo berada di Mabes Polri," ujarnya.

Selanjutnya, dakwaan penuntut umum juga disebut tidak menunjukkan adanya bukti terkait keterlibatan. Penuntut umum bahkan disebut tidak membuktikan adanya perintah dari Joko Tjandra untuk membuat surat jalan palsu tersebut.

Semua yang diuraikan Penuntut Umum di dalam surat dakwaannya itu tidak sedikit pun menunjukkan adanya kualifikasi tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat atau menyuruh melakukan perbuatan membuat surat palsu atau memalsukan surat atau turut serta membuat surat palsu atau memalsukan surat, sebagaimana yang didakwakan penuntut umum.

"Uraian dakwaan Penuntut Umum justru menerangkan dan menunjukkan bahwa terdakwa Joko Soegiarto Tjandra sama sekali tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum," ujarnya.

Diketahui, dalam kasus ini Joko Tjandra didakwa bersama-sama Anita Dewi Anggraeni Kolopaking dan Brigjen Prasetijo Utomo diduga memalsukan surat untuk kepentingan beberapa hal. Joko Tjandra saat itu berstatus terpidana perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang jadi buron sejak 2009.

Mereka didakwa melanggar Pasal 263 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 263 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan Prasetijo didakwa melanggar tiga pasal, yakni Pasal 263 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1, Pasal 426 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 KUHP ayat 1, dan Pasal 221 ayat 1 ke-2 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: