JAKARTA - Aksi demontrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja kembali berlangsung, Senin (12/10). Lembaga Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) menilai seruan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pihak yang tidak puas dapat mengajukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan ia tak memiliki sensitivitas.

Direktur Sigma Said Salahudin mengatakan yang dituntut buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain adalah legislative review atau executive review bukan judicial review.

"Tidak sepantasnya pemerintah lempar tangan soal omnibus law ini kepada lembaga negara yang lain. Dengan cara seperti itu pemerintah seolah menjadikan MK sebagai keranjang sampah. Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK. Sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi konstitusi," kata Said melalui pesan Whatsapp yang diterima Gresnews.com, Senin (12/10/2020).

Said melanjutkan sistem hukum Indonesia tidak mengatur demikian. Dalam membentuk undang-undang DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat.

"Nah, apa yang dituntut oleh buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain pada aksi demonstrasi besar-besaran kemarin itu jelas, mereka meminta DPR dan Presiden sendiri yang membatalkan UU Ciptaker, bukan MK," jelas Said yang juga ahli hukum tata negara itu.

Jadi, kata Said, jangan gurui mereka untuk melakukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Para pendemo itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti prosedur pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka turun ke jalan dalam rangka menuntut keinsafan DPR dan Presiden agar membatalkan sendiri UU Ciptaker yang merugikan rakyat banyak itu. Soal MK itu urusan yang lain lagi. Tidak ada korelasinya dengan aksi mogok nasional para buruh dan unjuk rasa masyarakat luas.

"Masalahnya kan, pemerintah tidak memiliki sensitivitas terhadap tuntutan masyarakat itu, dan justru berlagak pilon dengan melempar permasalahan ke Mahkamah Konstitusi," terangnya.

Menurutnya, apa yang dituntut oleh para demonstran itu dalam teori hukum tata negara disebut dengan legislative review atau pengujian produk legislasi oleh lembaga legislatif. Dalam hal ini DPR selaku legislator dan presiden sebagai co-legislator.

Jadi, UU Ciptaker diminta untuk dibatalkan sendiri oleh DPR dan Presiden sebagai lembaga yang membuat undang-undang tersebut.

"Bahwa ada problem waktu bagi DPR dan presiden untuk membentuk undang-undang baru guna membatalkan UU Ciptaker, itu perkara lain. Yang penting bagi masyarakat adalah ada keinsafan dan jaminan dari kedua lembaga itu untuk membatalkan omnibus law," tuturnya.

Selain dari pada itu, tambah Said, ada pula tuntutan dari para pengunjuk rasa agar presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) supaya UU Ciptaker bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat.

Aspirasi rakyat itu disebut dengan proses executive review atau peninjauan kembali perangkat hukum oleh badan pemerintah. Presiden punya kewenangan itu.

Jadi, sangat jelas yang dituntut oleh masyarakat kepada DPR dan Presiden adalah proses legislative review atau executive review, bukan judicial review atau pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan.

Proses judicial review di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan undang-undang.

"Jika DPR dan Presiden memiliki kepekaan dan proaktif terhadap aspirasi rakyat, semestinya tuntutan masyarakat itu mereka selesaikan sendiri. Bukan malah dilempar ke lembaga lain," ujar Said.

Said menuturkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, TAP MPR VI/2001 telah tegas disebutkan bahwa dalam etika politik dan pemerintahan, pemerintah dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi rakyat.

Apabila secara moral kebijakan pemerintah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, pejabatnya harus siap mundur. Begitu
kata TAP MPR VI/2001 yang sering dikutip oleh Mahfud MD sebelum menjadi menteri.

"Sekarang saya mau tagih ucapan Pak Mahfud itu, bersediakah Pak Mahfud mundur dari jabatannya atas sikap pemerintah yang tidak aspiratif terhadap tuntutan rakyat?" pungkasnya.

Sementara itu Presidium Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) Indra Munaswar mengatakan MK merupakan jalan terakhir bagi rakyat untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Meski penuh dengan keraguan akan mendapatkan putusan MK yang adil menurut konstitusi dan hati nurani para Majelis Mahkamah.

"Kenapa menjadi penuh keraguan? Karena, sebagaimana diberitakan media massa maupun media online, pada 28 Januari 2020, Jokowi minta dukungan MK terkait dengan Omnibus Law, dan pada 9 Oktober 2020, Jokowi mempersilakan Penolak UU Cipta Kerja Gugat ke MK. Ungkapan Presiden ini bisa menjadi bentuk intervensi terhadap wilayah yudikatif," kata Indra yang juga Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) kepada Gresnews.com, Senin (12/10/2020).

Lanjut Indra, dengan kedua pesan itu, bisa saja akan memengaruhi suasana kebatinan para Hakim Majelis MK. Betapa tidak, dari sembilan orang Hakim MK, tiga orang atas usulan Presiden, dan tiga orang atas usulan DPR RI. Hal ini yang membuat gamang rakyat pencari keadilan konstitusional.

"Kami dari GEKANAS (Gerakan Kesejahteraan Nasional) saat ini masih terus mencari jalan dan mendalami langkah-langkah untuk tidak tergesa-gesa menuju MK," tegasnya.

Menurutnya, ada langkah hukum yang dapat dilakukan antara lain adalah legislative review ke DPR RI, Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) ke Pengadilan Negeri atas PMH (Perbuatan Melawan Hukum) Pemerintah dan DPR RI, atau bahkan bila memungkinkan, melakukan tuntutan Pidana terhadap para Pimpinan DPR RI, para Pimpinan Panja RUU Cipta Kerja DPR RI, dan para Menteri yang hadir dalam Sidang Paripurna DPR, 5 Oktober 2020 karena secara bersama-sama telah melakukan kebohongan publik dengan mengesahkan RUU Kertas Kosong.

"Semua orang yang menonton di TV Parlemen, melihat dengan jelas tidak ada penyerahan Naskah RUU CK yang tebalnya sekitar 1000 halaman lebih itu dari Ketua DPR RI Puan Maharani kepada yang mewakili Presiden, Airlangga Hartato," ujar Indra.

Menurut Indra, berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib, Pasal 163 huruf c dinyatakan bahwa, pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan cara Pembacaan Naskah RUU.

Kemudian, menurut Pasal 164 ayat (1) huruf a, pada Pembicaraan Tingkat II untuk mengambil keputusan dalam Rapat Paripurna DPR, didahului dengan penyampaian hasil Pembicaraan Tingkat I. Salah satunya adalah Naskah RUU yang sudah dibacakan dalam Pembicaran Tingkat I.

"Tapi nyatanya naskah tersebut raib sehingga yang diserahkannya setelah terjadi pesetujuan antara DPR dan pemerintah hanya map kosong," tegasnya.

Apalagi sampai hari ini, kata Indra, Minggu, 11 Oktober 2020, enam hari terhitung sejak RUU CK itu disahkan, sepertinya Naskah RUU itu masih terpendam di DPR karena informasinya masih dalam perapihan.

Jelas ini melanggar Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib, Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan UU, UU No. UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 dan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.

"Pedoman untuk melakukan tuntutan pidana tersebut adalah UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan penguatan tuntutan masih didalami dari KUHP," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: