JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyanggah semua dalil pembelaan penasihat hukum atau pledoi terdakwa Direktur Utama PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto (JHT) dalam persidangan kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (5/10/2020).

Jaksa Ardito Muwardi mengatakan tim penasihat hukum terdakwa Joko Hartono keliru dalam materi pembelaan yang menyatakan bahwa JPU tidak dapat membuktikan pembelian saham oleh PT Asuransi Jiwasraya periode 2008-2018 diatur dan dikendalikan terdakwa.

Menurutnya keterangan saksi Faisal Satria Gumay, Agustin Widyastuti, dan Muhammad Romi justru memberatkan terdakwa Joko. Keterangan saksi tersebut telah menerangkan bahwa benar terdakwa Joko melalui Moudy Mangkey telah mengatur detail atau teknis transaksi.

"Yakni saham yang akan dibeli, jumlah saham, harga saham baik jual maupun beli, maupun lawan transaksi atau counterparty melalui sejumlah nominee-nominee Heru Hidayat dan Benny Tjokro Saputro (Bentjok)," kata Ardito.

Ia menjelaskan ada dua skema untuk instruksi transaksi kepada masing-masing Manajer Investasi (MI).

Skema pertama yaitu instruksi transaksi penjualan atau pembelian saham disampaikan langsung oleh terdakwa Joko melalui Moudy Mangkey. Kemudian Moudy menyampaikan instruksi transaksi kepada pihak MI.

Skema tersebut berlaku atas MI yang pihak manajemennya telah dikenal oleh terdakwa Joko.

Kemudian skema kedua berlaku untuk MI yang pihak manajemennya tidak dikenal secara langsung oleh terdakwa Joko yaitu dengan cara Moudy menyampaikan instruksi penjualan atau pembelian saham kepada MI melalui pihak sekuritas atau broker.

Perusahaan sekuritas tersebut menyampaikan kepada 13 MI tentang saham yang akan dibeli, jumlah saham, harga saham baik jual maupun beli, maupun lawan transaksi atau counterparty melalui sejumlah nominee Heru Hidayat dan Bentjok.

Ardito juga menguraikan terdakwa keliru dalam materi pembelaan yang menyatakan bahwa kontrak pengelolaan dana (KPD) dengan PT Treasure Fund Investama (TFI) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang menguntungkan PT AJS sebesar Rp119 miliar.

"Dalil tersebut jelas sangat keliru, sebagaimana fakta persidangan yang telah diuraikan secara lengkap dalam surat tuntutan," katanya.

Ia menjelaskan terkait pengelolaan investasi KPD tidak memberikan keuntungan secara riil bagi PT AJS yang keseluruhannya dikendalikan oleh Heru Hidayat melalui JHT melalui skema yang telah diatur oleh pihak-pihak yang telah terafilisasi oleh Heru Hidayat.

"Berdasarkan uraian tersebut, penuntut umum menyatakan bahwa dalil pembelaan tim penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima dan harus ditolak," jelasnya.

Ardito melanjutkan, tim penasihat hukum terdakwa Joko juga keliru bahwa pembentukan dan pengelolaan RDPT pada 2008-2018 dilakukan sesuai prosedur dan menguntungkan PT AJS sebesar Rp3,8 triliun.

Dalil tersebut keliru karena pada September 2008, pertemuan antara Joko dan Syahmirwan di ruangannya membicarakan tentang penempatan saham AJS yang dimiliki secara langsung ke dalam reksadana penyertaan terbatas RDPT pada manajer investasi yang telah ditunjuk terdakwa JHT.

Dengan cara membuat counterparty PT AJS dengan MI yang telah ditentukan JHT untuk mengatur portofolio saham milik PT AJS baik yang dibeli secara langsung.

Selain itu, Ardito mengungkapkan bahwa tim penasihat hukum terdakwa Joko juga keliru bahwa JPU tidak dapat membuktikan kaitan antara terdakwa dengan transaksi saham-saham milik Bentjok. Dalil sangat keliru karena pada Oktober 2015, Bentjok melakukan kesepakatan dengan Heru Hidayat untuk skema penempatan saham-saham milik Bentjok pada reksandana PT AJS melalui JHT.

Sementara tim JPU lainnya menyampaikan jawabannya bahwa keliru pengelolaan tidak menimbulkan kerugian. Jelas sangat keliru penjualan instrumen keuangan yang menjadi underlying.

Kemudian, tim PH keliru terkait penurunan aktiva bersih karena pengumuman gagal bayar. Dalil keliru karena perbuatan terdakwa bersama Heru Hidayat, Bentjok, dilakukan dalam tempo cukup lama.

Jaksa meminta hakim memberi hukuman pada terdakwa Joko karena telah menerima keuntungan dari tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

(G-2)

BACA JUGA: