JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) yang diduga merugikan keuangan negara Rp16,8 triliun. Dalam pledoi Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto merasa terzalimi bahkan menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak memahami dunia saham dan pasar modal.

Joko mengatakan JPU tidak terbiasa dengan dunia pasar modal bahkan nampak kurang memahami dan mengerti tentang pasar modal itu sendiri. Itu dapat dilihat dari kurangnya pemahaman JPU bahkan sampai ke istilah-istilah dasar dalam dunia pasar modal.

"Kadang penuntut umum tidak memahami apa itu broker, apa itu bank kustodian, ke mana masuknya uang hasil redemption. Sehingga pertanyaan penuntut umum pun membingungkan para saksi yang kesehariannya berkecimpung di pasar modal," kata Joko menyampaikan pledoinya yang berjudul Ampunilah Mereka Sebab Mereka Tidak Tahu Apa Yang Mereka Perbuat dalam sidang yang diikuti oleh Gresnews.com, Kamis (1/10/2020).

Joko juga merasa heran dengan tuntutan JPU dalam perkara ini hingga dituntut seumur hidup. Tuntutan seumur hidup yang diajukan oleh JPU kepadanya terlalu subjektif. Bahkan, tuntutan JPU dianggap tak sesuai dengan fakta persidangan.

Joko dituduh melakukan perbuatan dalam kurun waktu 2008-2018 yang merugikan Jiwasraya sebesar kurang lebih Rp16,8 triliun. Namun dalam proses pemeriksaan saksi dan fakta persidangan terungkap bahwa Jiwasraya tidak mengalami kerugian, terutama dalam rentang 2008-2018 yang didakwakan kepadanya.

JPU telah keliru merumuskan tempus (waktu) perkara tersebut. Dalam surat dakwaan JPU dinyatakan tempus-nya adalah 2008-2018.

"NAB (Nilai Aktiva Bersih) 21 reksa dana tersebut justru naik dan apabila saat itu dicairkan (redemption) seluruhnya oleh direksi baru PT AJS akan menghasilkan keuntungan yang nyata sebesar sebesar Rp1.132.472.383.385,06, namun keuntungan tersebut tidak dicairkan oleh direksi baru PT AJS," katanya.

Nilai investasi Jiwasraya di reksa dana konvensional terus mengalami peningkatan sampai dengan akhir 2018. Setiap Jiwasraya melakukan redemption, Jiwasraya mendapatkan keuntungan dan uangnya masuk ke Jiwasraya.

Setiap penjualan saham yang dimiliki Jiwasraya secara direct (langsung), Jiwasraya selalu mendapatkan keuntungan dikarenakan tidak boleh menjual di bawah harga beli/harga perolehan.

Menurutnya, penurunan NAB pada reksa dana baru terjadi pada akhir 2018/awal 2019, justru diakibatkan karena adanya pengumuman gagal bayar. Terlebih dengan dilansirnya saham-saham dalam portofolio Jiwasraya ke publik oleh direksi baru Hexana Tri Sasongko yang notabene tidak pernah bekerja di perusahaan asuransi. Ia tidak pernah menjadi direktur tiba tiba menjadi direktur utama di perusahaan Asuransi sekelas Jiwasraya.

Bahwa walaupun NAB- turun, portofolio Jiwasraya dalam reksa dana ataupun saham-saham yang dimiliki Jiwasraya masih ada dan bernilai, di mana nilainya bisa naik kapan saja karena pergerakan nilai saham sangat fluktuatif.

Penurunan NAB reksa dana dan nilai saham belum menimbulkan kerugian bagi Jiwasraya. Karena barangnya masih ada dan nilainya masih bisa naik di kemudian hari. "Fakta-Fakta di atas merupakan kebenaran materiil, dimana penuntut umum selama persidangan ini selalu mengatakan memiliki tujuan mencari kebenaran materiil. Kebenaran materiil di atas jelas menunjukkan Jiwasraya tidak/belum mengalami kerugian," jelasnya.

Selanjutnya, menurut Joko, hal yang lebih membingungkan JPU menuduhnya merugikan Jiwasraya Rp16,8 triliun di mana sekitar Rp12 triliun berdasarkan investasi Jiwasraya di reksa dana konvensional yang dijalankan 13 Manajer Investasi. Namun kemudian Kejaksaan Agung menetapkan 13 Manajer Investasi sebagai tersangka yang mengakibatkan kerugian di Jiwasraya sekitar Rp12 triliun.

"Hal tersebut tentunya sangat aneh tapi nyata. Jadi siapa yang sebenarnya dianggap oleh Kejaksaan Agung merugikan Jiwasraya dalam investasi di reksa dana? Mereka saja bingung, apalagi dirinya yang dituntut seumur hidup. Ke mana uang Rp16,8 triliun tersebut dan mana alirannya? Bahkan harta pribadinya yang tidak ada hubungannya dikorbankan dan disita untuk memenuhi gengsi penyidik dan memaksakan bahwa itu adalah hasil tindak pidana," ujarnya.

Padahal, lanjut Joko, sampai hari ini JPU gagal membuktikan hal tersebut.

Selain itu, kata Joko, seperti disampaikan Jampidus dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, penyidik telah melakukan penyitaan aset sebesar Rp18,46 triliun. Ini sudah melebihi nilai kerugian Jiwasraya sebesar Rp16,8 triliun.

"Lalu kalau memang sudah melebihi kerugian negara kenapa saya masih juga dituntut seumur hidup?" tanya Joko.

Menurutnya, penghitungan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Periksa Keuanga (LHP BPK) dalam kerugian negara Rp16,8 triliun merupakan hal yang aneh dan di luar akal sehat. Sebab menggunakan metode total loss tanpa memperhitungkan nilai saham-saham yang masih ada, keuntungan yang pernah diperoleh Jiwasaraya, dan pembayaran pajak yang diterima oleh negara.

LHP BPK sendiri jelas bertentangan dengan beberapa keterangan dua ahli BPK dalam persidangan ini, yaitu, portofolio Jiwasraya di reksa dana dan saham-saham yang dimiliki Jiwasraya masih memiliki nilai.

"Bahwa keterangan ahli BPK tersebut jelas menunjukkan penghitungan kerugian negara secara total loss oleh BPK adalah tidak benar dan menyesatkan," cetusnya.

Tuduhan JPU lainnya kepadanya adalah mengendalikan dan mengatur 13 Manajer Investasi. Menurutnya, bagaimana mungkin ia dapat mengendalikan dan mengatur 13 Manajer Investasi. Dimana sebagian besar Manajer Investasi tersebut adalah perusahaan besar seperti Sinar Mas, MNC, OSO, Maybank (perusahaan asing ) yang pemiliknya saja ia tidak kenal.

Ia bukan pemegang saham atau wakil pemegang saham dari 13 Manajer Investasi tersebut. Dan bukan merupakan pejabat yang berwenang di perusahaan tersebut. Dia hanya menawarkan saham, di mana keputusan membeli atau tidak tetap di Manajer Investasi dan ia baru menyadari karena menawarkan saham dapat didakwa mengatur dan mengendalikan. Kemudian dijadikan tersangka, ditahan dan pada akhirnya dituntut seumur hidup.

"Hal tersebut semakin menunjukkan ketidakpahaman penuntut umum akan dunia pasar modal serta arogansi dalam menunjukan kesewenang-wenangannya," katanya.

Fakta-fakta persidangan yang berasal dari keterangan para saksi sendiri yang mana merupakan saksi dari JPU menunjukkan kebenaran materiil, diantaranya Faisal Satria Gumay, Anggoro Sri Setiaji, Fahyudi Djaniatmadja, Irawan Gunari, Frery Kojongian, Rudolfus Pribadi Agung Sujagad, Elisabeth Dwika Sari, Andri Yauhari Njauw, Denny Rizal Taher, Ferro Budhimeilano, Rusdi Usman, Alex Setiawan WK, Dwinanto Amboro, Meitawati Edianingsih, Rosita.

Ia menyebut hampir sebagian besar Manajer Investasi tidak mengenalnya. Hampir sebagian besar MI justru berhubungan dengan Jiwasraya dalam hal ini adalah Agustin Widhiastuti dan jelas ditemukan bukti perintah dan tandatangannya.

Para Manajer Investasi melakukan analisis dalam pemilihan saham sendiri dan yang menginstruksikan broker untuk menjalankan transaksi. Terdapat lebih dari 100 jenis saham, baik BUMN ataupun swasta dalam portofolio reksa dana milik Jiwasraya.

Joko menegaskan dari kebenaran materiil di atas menunjukkan tidak memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan 13 Manajer Investasi tersebut. Apalagi mengatur dan mengendalikan 100 lebih emiten.

"Apa yang ada di dalam benak penuntut umum, apakah saya ahli hipnotis seperti Profesor X yang ada di film X-Men, yang mampu menghipnotis dan mempengaruhi pikiran dan tindakan orang hanya dengan berbicara? Apalagi dituduhkan saya melakukan itu selama 10 tahun," tuturnya.

Lalu tuduhan JPU lainnya adalah memperkaya orang lain, dalam hal ini adalah Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan. Tuduhan tersebut juga, sudah terbantahkan dengan keterangan-keterangan para saksi dalam persidangan ini, di mana terdapat fakta-fakta sebagai berikut.

Joko baru mengenal Benny Tjokrosaputro pada 2015 dan hanya pernah berhubungan satu kali terkait dengan Jiwasraya. Tidak ada uang Jiwasraya yang mengalir ke Heru Hidayat ataupun Benny Tjokrosaputro. Dia tidak pernah memberikan sesuatu kepada Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan.

Pemberian fasilitas berupa undangan kepada Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan berasal dari Manajer Investasi yang memang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hubungannya dengan Hary Prasetyo adalah teman sejak lama yang memang terbiasa minta tolong untuk melakukan pembayaran yang semuanya telah diganti. "Bahwa kebenaran materiil di atas jelas menunjukkan saya tidak pernah memperkaya orang lain sebagaimana tuduhan-tuduhan Penuntut Umum," tegasnya.

Ia pun mengatakan bahwa kondisi yang dia alami mengingatkan pertandingan Daud melawan Goliath yang berdasarkan perhitungan manusia, yang semua sudah diatur sedemikian rupa, Goliath akan mengalahkan Daud. "Pada akhirnya saya hanya dapat memohon agar diberi keadilan dalam perkara ini. Keadilan yang akan membebaskan saya dari seluruh kezaliman ini. Keadilan yang berdasarkan hati nurani serta hikmat kebijaksanaan dari Tuhan Yang Maha Esa," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: