JAKARTA - Pandemi COVID-19 di Indonesia membawa dampak buruk bagi perekonomian nasional dan daerah. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, Jawa Timur menjadi daerah pandemik dengan penyebaran tinggi.

Indopol Survei melakukan survei persepsi publik terhadap penanganan COVID-19 di Jawa Timur. Survei yang dilakukan pada periode 23-28 Juli 2020 itu bertujuan mengevaluasi kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Jatim) menurut persepsi publik.

Pada saat pengambilan data survei, Jawa Timur menjadi provinsi dengan tingkat paparan tertinggi di Indonesia. Tercatat pada 23 Juli 2020 jumlah pasien positif COVID-19 di Jatim mencapai 19.450 orang, lebih tinggi dibandingkan dengan DKI Jakarta.

Bahkan selama 42 hari, tepatnya sejak 26 Juni-6 Agustus 2020, Jawa Timur sempat menyandang gelar sebagai “Juara COVID-19”.

Dalam survei yang dilakukan Indopol Survei, sebanyak 58% masyarakat Jatim mengaku prihatin sekaligus waspada terhadap wabah ini. 17% menilai COVID-19 telah menjadi penyebab kesengsaraan kehidupan mereka. Terdapat 16,2% masyarakat Jatim yang menilai fenomena COVID-19 telah dilebih-lebihkan oleh pemerintah dan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).

"Jumlah masyarakat yang menilai COVID-19 menjadi penyebab kesengsaraan dan dilebih-lebihkan ini cukup besar dan berimplikasi terhadap pola hidup mereka dalam menghadapi COVID-19,” kata Direktur Eksekutif Indopol Survei, Ratno Sulistiyanto, dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Senin (31/8/2020).

Meskipun begitu, 75% masyarakat Jatim menilai penanganan pemerintah terhadap para orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan positif COVID-19 sudah cepat dan bagus. Hal ini berimplikasi kepada tingkat kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah.

Sebanyak 68,2% masyarakat Jatim merasa puas dengan kinerja Pemprov Jatim dalam menangani COVID-19. Persentase terbesar terdapat di Kota Probolinggo, Situbondo, Kota Mojokerto, Trenggalek, dan Madiun. Ketidakpuasan tertinggi terdapat di Kota Batu, Kota Madiun, Ponorogo, Sidoarjo, dan Kota Pasuruan.

Umumnya, kinerja pemerintah dalam menangani COVID-19 yang dirasakan masyarakat adalah dalam bentuk imbauan mematuhi protokol kesehatan (62,2%), pembagian masker (16,1%), penyemprotan desinfektan (9,7%), PSBB (4,9%), dan pembagian hand sanitizer (0,3%).

Ia menjelaskan salah satu dampak tidak terhindarkan dari wabah COVID-19 adalah dalam bidang ekonomi. Masyarakat di Jatim merasakan langsung menurunnya aktivitas ekonomi akibat dari wabah.

Sebanyak 57,1% masyarakat menganggap kondisi ekonomi keluarganya lebih buruk dibandingkan tahun lalu, 10,8% malah menyatakan jauh lebih buruk. Mayoritas (65,9%) menyalahkan COVID-19 sebagai penyebabnya.

Mereka yang berpendapatan di bawah Rp2 juta/bulan paling merasakan penurunan ekonomi keluarga. Kondisi terburuk dialami di Probolinggo, Kota Mojokerto, Banyuwangi, Blitar, dan Kota Surabaya.

Meskipun demikian, hanya 24,4% masyarakat yang menyatakan pendapatannya turun setelah wabah COVID-19. Sedangkan 69,8% menyatakan pendapatannya tetap. Hal itu menujukkan bahwa COVID-19 sesungguhnya bukanlah satu-satunya penyebab turunnya ekonomi keluarga.

Menurut Ratno, mereka yang berpendapatan di bawah Rp4 juta/bulan paling mengalami penurunan pendapatan. Kondisi terburuk dialami di Probolinggo, Sampang, Kota Mojokerto, Banyuwangi, dan Lamongan.

Sebanyak 10,40% masyarakat mengaku kehilangan pekerjaan selama wabah COVID-19, 7,2% mengaku telah dirumahkan, dan 37,3% mengaku pekerjaannya berkurang selama wabah. PHK, dirumahkan, dan berkurangnya pekerjaan paling parah dialami mereka yang berpendapatan kurang dari 3 juta/bulan.

Kondisi PHK terburuk dialami di Kab. Malang, Sampang, Kota Malang, Kota Madiun, dan Sumenep. Kondisi pekerja dirumahkan terburuk dialami di Situbondo, Pacitan, Kota Kediri, Kota Pasuruan, Gresik, Lamongan, dan Tuban.

Sedangkan dalam program Bantuan Sosial yang merupakan salah satu program utama pemerintah dalam menanggulangi dampak ekonomi COVID-19, sebanyak 85% masyarakat di Jatim yang mengetahui adanya program Bansos tersebut telah terlaksana di desanya.

Sebanyak 59% mengaku mendapatkan bansos. Dari jumlah tersebut, 47,1% berpendapat bansos telah mencapai sasaran dengan baik. 23% berpandangan program bansos tidak mencapai sasaran dan 13,7% berpendapat pembagian bansos tidak adil. Jumlah mereka yang menganggap bansos tidak mencapai sasaran dan tidak adil ini cukup besar (26,7%).

Sedangkan masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui adanya bansos di daerahnya mencapai 15%, terbesar terdapat di Kabupaten Pasuruan, Sumenep, Kab. Malang, Blitar, Kota Probolinggo, dan Kabupaten Madiun.

Masyarakat Jatim juga terbelah sikapnya antara apa prioritas yang harus dilakukan pemerintah, apakah memprioritaskan pembangunan ekonomi atau kesehatan. Sebanyak 46% warga menganggap prioritas terbaik pemerintah adalah soal ekonomi, sedangkan 43% menilai yang lebih penting adalah kesehatan. (G-2)

BACA JUGA: