JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM harus melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding mengingat mulai munculnya cluster Corona Virus (COVID-19) di lembaga pemasyarakatan (lapas). Setidaknya ada 7 lapas di Indonesia yang terpapar COVID-19, dengan jumlah infeksi kepada 120 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan 18 petugas lapas.

Pengamat Hukum Agustinus Pohan mengatakan perlu dilakukan kembali pengurangan jumlah WBP. Namun pengurangan jumlah WBP itu bisa dilakukan dengan pembebasan bersyarat.

"Pengurangan jumlah napi (WBP) bisa dengan pembebasan bersyarat dengan syarat formalnya yaitu telah menjalani 2/3 pidana dan tidak kurang dari 9 bulan," kata Agus kepada Gresnews.com, Selasa (25/8/2020).

Selain itu, kata Agus ada cara lain yang bisa dilakukan oleh hakim dalam melakukan putusan.

"Cara lain (itu), tentunya dengan tidak mudah menuntut pidana penjara khususnya terhadap tindak pidana yang kurang serius," katanya.

Misalnya dalam kasus tersangka bergosip dalam chat Whatsapp pribadi yang kemudian dilaporkan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU ITE.

"Kalau orang bergosip dipenjara maka kedepan kita harus punya penjara disetiap kelurahan," tambah Agustinus.

Sementara itu pengamat hukum dari Universitas Indonesia UI Chaerul Huda sepakat bahwa kepadatan lapas itu disebabkan oleh putusan hakim yang masih berorientasi pemidanaan dalam bentuk pidana penjara.

"Hakim itu berfikir bahwa pidana itu adalah penjara. Hakim kenapa begitu karena undang-undangnya mengatur begitu," katanya kepada Gresnews.com, Selasa (25/8/2020).

Tetapi tetap saja, kata Chaerul, yang divonis penjara itu banyak. Jadi masalahnya pada vonis penjara, itu masalah kebijakan negara dalam penggunaan pidana penjara. Itulah yang menyebabkan penjara menjadi padat.

Menurutnya upaya pencegahan penularan COVID-19 didalam lapas penjara harus ada pembatasan kunjungan kedalam lapas. Selain itu juga perlu aturan khusus bagi para petugas lembaga pemasyarakatan.

"Jadi mereka rentang waktu pergantian shiftnya harus lebih panjang. Jadi misalnya selama ini seminggu-seminggu mungkin bisa sebulan baru boleh mereka berganti. Lalu istirahat mereka 2 minggu. Setelah dua minggu tidak ada gejala baru boleh masuk lagi," ujarnya.

Manajer Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mendesak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan agar membuka data aktual kasus COVID-19 di lapas.

Ia pun meminta Kemenkumham kembali melakukan upaya pengurangan overcrowding dengan memprioritaskan warga binaan yang tergolong kelompok rentan kesehatan, perempuan, dan anak-anak. Begitu pula WBP dengan resiko keamanan yang rendah misalnya WBP tindak pidana non-kekerasan dan pengguna serta pecandu narkotika. 

Maidina mengingatkan, rutan/lapas rentan karena tidak memungkinkan melakukan protokol kesehatan secara ketat. Pembiaran rutan/lapas dapat mengubahnya menjadi lingkungan dengan penularan COVID-19 paling berbahaya.

Ancaman penularan COVID-19 bukan hanya terhadap warga binaan, tetapi juga petugas hingga warga setempat.

Ia menilai, program integrasi dan asimilasi warga binaan masih kurang maksimal karena beban rutan/lapas mencapai 176% per Juli 2020.

Secara merata, rutan/lapas masih kelebihan penghuni. Misalnya, dalam kasus Lapas Kelas I Surabaya pada 21 Agustus 2020 melaporkan dua warga binaan terpapar COVID-19. Padahal, overcrowding lapas tersebut sebesar 128%.

"Artinya upaya sederhana physical distancing pastinya mustahil dilakukan. Perlu diketahui juga per 23 Agustus terdapat kabar 7 WBP di lapas ini meninggal dunia secara berturut setelah mengalami sakit. Pihak lapas pun secara terang-terangan menyatakan klinik dan pelayanan kesehatan lapas tidak mampu menangani kondisi ini," tutur Maidina dalam keterangan yang diterima Gresnews.com.

Untuk mengurangi beban lapas/rutan, Kemenkumham tidak dapat bekerja sendiri. Presiden Joko Widodo, juga harus mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak secara masif menggunakan penahanan dalam kasus yang tidak terlalu dibutuhkan.

Berdasarkan pemantauan media yang dilakukan ICJR, IJRS, dan LeIP telah terjadi banyak kasus infeksi COVID-19 di dalam rutan/lapas di seluruh Indonesia, baik yang menyerang WBP maupun petugas rutan/lapas yang juga memberikan kondisi kerentanan penularan.

ICJR, IJRS, dan LeIP mencatat setidaknya ada 7 Lapas di Indonesia yang terpapar COVID-19, yaitu Lapas Kelas I Surabaya, Jawa Timur, Lapas Kelas IIA Subang, Jawa Barat, Lapas Kelas IIB Muara Bulian, Jambi, Lapas Kelas IIA Jambi, Jambi, Lapas Perempuan Kelas II A Sungguminasa, Sulawesi Selatan, Lapas Klas II B Muara Sijunjung, Sumatera Barat, Lapas Terbuka Kelas II B Pasaman, Sumatera Barat dengan jumlah infeksi 120 WBP dan 18 Petugas Lapas, 1 diantaranya adalah Kalapas Kelas IIA Jambi.

"Data ini bisa jadi lebih banyak karena hingga saat ini tidak ada data aktual resmi yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Ditjen PAS," katanya.

Sebelumnya pun Menteri Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2020 lalu memerintahkan Dirjen PAS untuk bekerja lebih ekstra dalam mencegah penyebaran COVID-19 di rutan/lapas.

Menteri Hukum dan HAM menyebut sejumlah lapas yang tercatat memiliki riwayat paparan COVID-19, yaitu Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang, Lapas Perempuan Kelas II A Sungguminasa, Lapas Kelas IIA Salemba, dan Lapas Perempuan Kelas IIA Jakarta, sebagian lapas-lapas tersebut tidak terlaporkan media, itu berarti tidak sepenuhnya tergambar kondisi penyebaran COVID-19 di rutan/lapas. (G-2)

 

BACA JUGA: