JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menentang Rancangan Perpres (R-Perpres) Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Bahkan Komnas HAM telah mengirimkan surat Nomor 056/TUA/VI/2020 tertanggal 17 Juni 2020 terkait rekomendasi kepada pemerintah untuk menarik R-Perpres tersebut.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menegaskan dalam pemberantasan terorisme, Indonesia telah memilih rangka penanganannya yakni criminal justice system ketimbang pendekatan perang (war model). Artinya yang ditekankan adalah penegakan hukum. Dengan demikian status aksi terorisme adalah aksi pelanggaran hukum.

Oleh karena itulah UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme mencerminkan criminal justice system. Apa yang penting dalam aturan itu adalah salah satunya punya pertanggungjawaban setiap langkah penegak hukum ketika menangani terorisme.

UU Pemberantasan Terorisme juga mengisyaratkan adanya pendekatan yang komprehensif. "Makanya sebenarnya UU 5 tahun 2018 ini salah satu UU yang terbaik di dunia untuk menangani terorisme," kata Anam dalam diskusi virtual yang digelar Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS HAM) Sulawesi Tengah pada Jumat (21/8/2020).

Salah satu indikatornya adalah adanya perhatian terhadap korban. Jadi korban-korban akibat terorisme, orang kena bom, misalnya. Itu ditangani oleh negara. Di negara lain itu urusannya rumit tapi di Indonesia urusannya lebih mudah.

Selain itu, dalam konteks UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang TNI itu seluruh anggaran militer masuk APBN. Namun dalam rancangan perpres itu dimungkinkan memakai anggaran daerah atau anggaran-anggaran dari sumber lain.

"Itu tidak bisa. Nanti tentara kita compang camping. Tidak profesional. Itu tidak bisa dan pertanggungjawabannya juga nggak boleh. Itu yang pertama," tegasnya.

Yang kedua, di UU TNI sendiri memang dikenal operasi militer selain perang (OMSP). OMSP itu harus melalui keputusan politik negara. Di dalam rancangan perpres itu tidak ada, cukup panglima TNI yang bisa menggerakkan. Lalu bagaimana dengan pertanggungjawabannya, bagaimana kontrol negara ini terhadap fungsi-fungsi militer?

"Nggak ada nantinya. Jadi ini sangat bertentangan dengan upaya kita membangun negara yang demokratis sesuai amanat Reformasi," katanya.

Catatan yang paling penting adalah bahaya apakah bila tentara terlibat penanganan terorisme. Sangat bahaya kalau sifatnya permanen, salah satu yang terbukti nantinya adalah dia tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas seluruh pelakuan.

"Nah itu secara sistem dia tidak bisa (diminta pertanggungjawaban), dia imun dan itu berbahaya bagi sistem demokrasi dan perlindungan HAM kita," jelasnya.

Kalau polisi sekarang ini, dalam UU Pemberantasan Terorisme bisa dituntut. Persis yang dilakukan oleh keluarga korban. Menuntut agar penembakan yang salah itu diusut tuntas sampai ke pengadilan, misalnya.

"Itu yang disampaikan kepada Komnas HAM oleh keluarganya. Dan saya sudah melakukan penyidikan mendalam soal itu," tandasnya.

Sementara itu Anam juga mengungkap respons pemerintah terkait surat Nomor 056/TUA/VI/2020 tertanggal 17 Juni 2020 yang pernah dikirimkan Komnas HAM terkait rekomendasi untuk menarik Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Anam mengungkapkan Presiden RI Joko Widodo secara langsung tidak memberikan respons, namun melalui Menko Polhukam Mahfud MD satu minggu lalu.

Anam mengatakan saat itu Mahfud menyatakan pemerintah menerima masukan serta substansi surat yang dikirimkan Komnas HAM.

"Jadi di level pemerintah juga ada melakukan proses pembahasan lagi," kata Anam.

Pada intinya, kata Anam, Komnas HAM membolehkan pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme namun hanya di level penindakan dalam konteks ancaman yang paling serius dan ketika polisi telah gagal.

Kedua, kata Anam, pelibatan itu dikoordinasikan oleh polisi.

Ketiga, pelibatan itu tidak bersifat permanen, artinya bersifat ad hoc ketika dibutuhkan.

Sementara Mohamad Affandi, Sekretaris Jenderal LPS HAM Sulawesi Tengah, mengatakan hadirnya TNI diberikan mandat penuh untuk penanggulangan terorisme malah membuat bingung. Mulai dari perppu, kemudian masuk ke undang-undang terorisme. Kemudian direvisi dan terakhir muncul lagi perpres yang bisa mengalahkan undang-undang yang ada.

"Artinya ada tidak connect, masak perpres itu bisa mengalahkan undang-undang tentang pemberantasan teroris," tuturnya.

Selain itu, kata Affandi, harus dicatat Densus 88 dan BNPT belum maksimal dalam proses penanggulangan terorisme. Namun meskipun masyarakat di dalam negeri menganggap pemberantasan terorisme itu keliru tetapi bagi masyarakat internasional, orang Eropa, Amerika mereka menganggap bahwa Densus 88 itu sudah berhasil dalam pemberantasan terorisme. (G-2)

BACA JUGA: