JAKARTA - Saat ini tidak ada alasan yang kuat untuk melibatkan TNI dalam penanganan terorisme. Kalau pun pemerintah dan DPR tetap membahas draf Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Menangani Aksi Terorisme, diperlukan kehati-hatian dan transparansi publik untuk mengawalnya.

Pengajar FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Chaider S. Bamualim belum melihat ada ancaman yang benar-benar serius dan kuat sehingga dibutuhkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Aspek-aspek ancaman radikalisme dan terorisme terhadap keamanan dan kedaulatan negara belum bisa digunakan sebagai salah satu parameter atau indikator untuk pelibatan TNI.

"Kondisi kita sudah mengalami setback (kemunduran). Kenyataannya kita sedang mengalami setback yang harus diperhitungkan," kata Chaider dalam webinar Quo Vadis Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme, diikuti oleh Gresnews.com, Jumat (21/8/2020).

Kemunduran demokrasi tidak melulu disebabkan karena kinerja demokrasi pemerintah yang buruk. Tapi juga kondisi masyarakat dan kualitas berdemokrasi masyarakat yang mengalami penurunan.

"Kualitas demokrasi masyarakat mengalami penurunan, dan gejala-gejala seperti dalam berbagai riset Setara Institute dan sebagainya memperlihatkan kecendrungan konservatisme," tuturnya.

Konservatisme sebenarnya lebih berbeda arah dari liberalis. Kalau liberal itu lebih menghargai HAM, hak individu, dan sejenisnya dalam kontitusi.

"Orang boleh konservatif juga sebenarnya. Itu bagian daripada religius freedom. Orang boleh konservatif, boleh memberikan kecenderungan untuk mengamalkan agamanya, untuk loyal pada identitasnya, itu boleh saja," kata Chaider.

Tapi arah dari konservatif lebih cenderung pada pembentukan komunalisme yang dalam banyak hal bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Tapi konservatisme bisa mengarah pada radikalisme, itu sesuatu yang memang harus perlu diwaspadai.

"Jadi demokrasi setback itu ada di sini, ada dereligius konservatif," imbuhnya.

Kata Chaider, penggunaan kekuatan militer harus benar-benar dalam kondisi yang genting atau darurat. Detasemen Khusus (Densus) 88 yang dimiliki Indonesia saat ini adalah pasukan terbaik di dunia dalam hal mengatasi aksi terorisme.

Kalau dilihat dari konstelasi gerakan terorisme saat ini, kata dia, belum ada alasan konflik yang kuat sehingga perlu melibatkan TNI.

"Kalau TNI mau dilibatkan itu harus spesifik. Kalau dia ditugaskan untuk Poso ditugaskan untuk Poso. Dia tidak bisa diberi dasar hukum yang sangat kuat untuk melakukan aksi dengan teritorial, wilayah, jangkauan yang tidak dibatasi," tandasnya.

Dalam acara yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Bivitri Susanti menyatakan Raperpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terdapat masalah sehingga harus dibahas secara tidak terburu-buru, transparan dan partisipatif. Pada prinsipnya jangan sampai upaya pemberantasan terorisme menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM.

"Rancangan perpres pelibatan TNI dalam menangani terorisme harus mengacu pada apakah telah sesuai dengan prinsip negara hukum. Prinsip negara hukum bertumpu pada asas-asas pembatasan kekuasaan berdasarkan hukum dan hak asasi manusia," ujar Bivitri.

Bivitri menjelaskan model keterlibatan militer dalam penanganan terorisme seharusnya mengacu pada perbantuan terhadap otoritas penegak hukum dan konsep Criminal Justice Model. Di Indonesia, pendekatan tersebut melalui konsep Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Pendekatan terorisme adalah tindak pidana sehingga tunduk pada soal keamanan, bukan pertahanan. Perbantuan militer terhadap instansi sipil bersifat last resort, di bawah kendali otoritas sipil dan terbatas pada penguatan kapabilitas yang dibutuhkan.

Pelibatan militer dalam OMSP dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara. Keputusan politik negara menurut penjelasan Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR. "Masalahnya dalam Raperpres pengerahan TNI hanya cukup dengan perintah presiden," ujarnya.

Padahal secara filosofis dalam konteks hukum tata negara yang merupakan persoalan organisasi negara. Ada pembagian kewenangan yang harus dijalankan dengan ketat kalau tidak maka suatu negara akan semrawut.

Lanjut Bivitri, salah satu sesi penting dalam kuliah hukum tata negara adalah pertahanan dan keamanan. 

Perbedaan paradigma secara hukum tata negara dan secara politik pertahanan itu soal defense. Sementara keamanan itu soal ketertiban masyarakat, penegakan hukum yang masuk ranah Polri.

Sebelumnya pada Orde Baru antara TNI dan Polri itu menjadi satu. Sehingga banyak kritik yang secara sejarah konstitusional mendorong adanya keputusan politik penting pada 1998. Secara politik resmi keluar pertama kali dalam sebuah ketetapan MPR Nomor 10 Tahun 1998.

"Intinya meminta agar ada pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum," kata Bivitri.

Berawal dari sini, Polri mulai mandiri dan digariskan lebih mendalam. Kemudian tahun 2000 keluarlah kebijakan pemisahan TNI dan Polri. Dan UU itu berurutan TAP MPR Nomor 6 dan 7 mengenai peran TNI dan Polri.

Pemisahan ini menjadi penting, ketika berbicara soal tertib wewenang dalam konteks hukum tata negara. Sehingga di Pasal 30 UUD 1945 awalnya berisi singkat mengenai pertahanan negara. Tapi setelah amendemen, judul babnya berubah.

Itu menegaskan secara konstitusional bahwa kepolisian adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban. Dan TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi kedaulatan negara dan seterusnya.

"Jadi, secara konstitusional garisnya sudah tegas sekali memisahkan dua hal ini. Dan ini sesuai dengan prinsip demokrasi dan negara hukum. Itu yang menjadi semangat waktu 1998," jelasnya.

Reformasi sektor keamanan memiliki tantangan yang banyak sekali. Mulai dari kepentingan yang berusaha mempertahankan status quo. Di lain sisi ada persoalan global mengenai terorisme.

"Sekarang dengan basis itu tadi bagaimana hukum tata negara sebenarnya. Baik secara kesejarahan maupun konteks kekinian dalam undang-undang Dasar 1945 pascaamendemen melihat peran TNI maka kita bisa melihat bagaimana rancangan Perpres ini sebenarnya," terangnya.

Sementara menurut Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf, pelibatan TNI dalam menangani terorisme dapat dilakukan jika eskalasi ancaman meningkat dan tidak dapat ditangani kepolisian.

"Pelibatan TNI sebenarnya tanpa adanya rancangan perpres dapat bertindak atas dasar UU TNI, namun tetap mengacu pada upaya penanganan terakhir apabila beyond capacity dari aparat penegak hukum,” kata Al Araf.

Dia mencontohkan pelibatan militer sebaiknya ditujukan untuk menghadapi ancaman eksternal, semisal ancaman terhadap kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri dan pembajakan kapal di Somalia.

Menurutnya secara umum ada dua pola kebijakan penanganan terorisme. Pertama adalah kebijakan anti terorisme. Ini tentang kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang tumbuhnya terorisme.

Kedua, kebijakan kontraterorisme yakni instrumen satu kebijakan yang dibuat untuk melakukan penindakan terhadap terorisme.

"Jadi kerja-kerja yang biasa dilakukan oleh Penegakan hukum dan dalam batas tertentu dalam situasi dan kondisi terorisme yang mengancam kedaulatan negara maka operasi militer jadi pilihan yang terakhir dalam penanganannya," kata Al Araf.

Ada dua pola dan strategis kontra terorisme. Pertama, pola yang mengedepankan konsep perang. Kedua, pola yang mengedepankan konsep criminal justice system.

Dalam pola war model memang paradigma terorisme diasumsikan sebagai satu bagian bentuk perang. Sedangkan dalam criminal justice system, model paradigma penanganan terorisme lebih mengedepankan aspek penegakan hukum. "Sehingga dalam dua pola tersebut memiliki turunan-turunan yang berbeda dalam pola penanganannya," jelasnya.

Rancangan perpres yang sekarang secara nyata bertentangan dengan negara hukum, bertentangan dengan undang-undang dan substansinya memiliki persoalan-persialan serius. Sehingga perlu direvisi dan diperbaiki dulu oleh pemerintah.

Direktur Lingkar Madani (LIMA) yang juga aktivis 1998 Ray Rangkuti mengatakan dwifungsi ABRI itu betul-betul harus dicabut. Baik polisi maupun TNI harus kembali ke jati dirinya yaitu bersikap profesional. Dia menamakan saat ini adalah demokrasi COVID dan sipilisasi TNI.

"Saya menyebut sipilisasi TNI karena saya merasa bahwa masalah pelibatan TNI ini karena sipil. Bukan hanya terkait dengan terorisme tetapi sebetulnya sudah merambah kebanyak aspek di luar hal-hal yang terkait dengan pemberantasan terorisme," kata Ray.

Tetapi semua tidak lepas dari perkembangan demokrasi di Indonesia, khususnya di masa pandemi COVID-19 ini. Pelemahan terhadap demokrasi terjadi di mana-mana.

Setidaknya dalam catatan LIMA ada delapan indikasi terjadinya pelemahan demokrasi. Khususnya sejak masa Presiden Jokowi.

Pertama, oligarki partai politik yang semakin besar. Kedua, politik Identitas. Ketiga dinasti politik, khususnya menjelang pilkada 2020 ini banyak praktek dinasti politik yang mulai menjalar kemana-mana. Tanpa kecuali melibatkan keluarga presiden dalam hal ini calon wali kota (calwalkot) di Solo, Jawa Tengah, dan calwalkot di Medan, Sumatera Utara.

Empat, kriminalisasi atas suara kritis dan ini juga makin menjalar dimana-mana atas dasar kriminalisasi ini. Kelima, penggunaan buzzer dalam membuli suara kritis. Keenam, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketujuh, pembuatan aturan yang mengaitkan aspirasi masyarakat dengan pembahasan omnibus law. Kedelapan adalah pelibatan TNI.

Sementara itu ada sektor-sektor lain yang selama ini belum diperbaiki selama era reformasi. Yaitu pembenahan institusi polisi, kejaksaan, maupun birokrasi.

"Tiga hal yang saya kira sama sekali belum dilakukan pembenahan yang cukup. Oleh karena itu tidak bisa disebut ada pencapaian dalam proses demokratisasi ini," tuturnya.

Sipilisasi TNI adalah upaya menarik kembali TNI keranah dan aktifitas sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu persoalan yang pertama.

Kedua, penegakan hukum. Keluar Inpres Nomor 6 Tahun 2017 yang memberi kewenangan kepada TNI untuk melakukan dan penegakan hukum atau untuk melaksanakan protokol kesehatan COVID-19.

Selain itu, kata Ray, sebetulnya kalau rujukannya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dari judul dari UU itu namanya Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi ada kalimat tindak pidana yang hanya bisa diatasi oleh kepolisian.

Kepolisian adalah penindakan hukum. Kecuali UU itu mengatakan Pemberantasan terorisme. Kalau Pemberantasan terorisme memungkinkan TNI itu dimasukkan karena bisa saja dipandang pemberantasan terorisme itu tidak berkaitan dengan upaya kaitan hukum.

Tapi UU itu sendiri judulnya sudah membatasi semua hal yang berkaitan dengan penangkalan, pencegahan, terhadap tindak terorisme itu masuk dalam rangka tindak pidana. Dalam artian masuk dalam rangka konteks penegakan hukum.

"Kalau dia penegakan hukum jelas itu harus tetap berada di bawah unsur kepolisian sebagai aparat penegak hukum," pungkasnya. (G-2)

 

BACA JUGA: