JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai ada sesuatu yang janggal di balik hibah merek dagang Merdeka Belajar kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Proses perjanjian penyerahan hibah diduga kuat tidak sesuai prosedur dan tidak didasarkan pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tindakan tersebut berpotensi melanggar UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan karena ada dugaan ketidakcermatan pejabat negara.

Kebijakan Merdeka Belajar digagas Kemendikbud namun merek dagang Merdeka Belajar saat ini terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM sebagai milik PT Sekolah Cikal.

Berdasarkan Akta Nomor 3 tanggal 3 April 2020, modal disetor PT Sekolah Cikal sebesar Rp9,5 miliar. Susunan pengurus dan pemegang saham adalah Ahmad Fikri Assegaf (Komisaris Utama), Astrid Tanjung, Dewi Kamaratih Soeharto (Komisaris), Handayani Kariko (Komisaris), Helena Adnan, Ira Hasyda Harahap, Najeela Shihab (Direktur Utama), PT Inovasi Pintar Kreatif, Rahmat Danu Andika (Direktur), Reny Wiriandhani (Direktur), Retno Prasetyaningsih.

Pemegang saham terbesar adalah Najeela Shihab sebanyak 3.836.996 lembar (Rp3,8 miliar). Najeela Shihab adalah kakak presenter Najwa Shihab dan istri Ahmad Fikri Assegaf.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti pun mempertanyakan, mengapa baru saat ini Sekolah Cikal menghibahkan merek dagangnya.

"Ada dugaan konflik kepentingan dalam hibah Merdeka Belajar. Pemberian ini tidak tulus karena yang bersangkutan baru ngomong sekarang. Kenapa nggak dari awal? Kenapa tidak pada Mei 2020?" ungkap Retno dalam Ngobrol Sore-sore tentang Hibah Merdeka Belajar Tidak Sah secara virtual, Senin (17/8/2020).

Ia juga menilai Kemendikbud sepertinya tenang-tenang saja atas pencatatan merek dagang Merdeka Belajar tersebut. Padahal Merdeka Belajar merupakan sebuah program peningkatan kualitas pendidikan dari jenjang PAUD hingga perguruan tinggi.

Retno menduga hibah itu dilakukan karena ada protes masyarakat. Jika tidak ada protes, mungkin hibah itu tidak ada.

Dalam perjanjian hibah disebutkan Sekolah Cikal masih dapat menggunakan merek dagang tersebut. Retno menganggap dengan demikian Sekolah Cikal setara dengan negara kendati UU 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memperbolehkan merek itu dipakai bersama.

"Artinya PT Sekolah Cikal ini istimewa. Ketika hibah ini tulus atau tidak, ketika masih menginginkan merek dagang digunakan secara bersama, itu kan artinya posisi Cikal sama negara sama kuatnya. Artinya ada nilai tambah, ada kepentingan ekonomi dan bisnis, atau ada kaitannya dengan hal-hal yang mungkin disembunyikan," kata Retno.

Lebih jauh lagi Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menjelaskan hibah yang diumumkan kepada publik oleh Pemilik Merek Dagang Merdeka Belajar dan Kemendikbud pada Jumat (14/8/2020) hanya menyampaikan bahwa merek Merdeka Belajar akan dihibahkan melalui surat kesepakatan, bukan Akta Hibah.

Padahal, perjanjian hibah tersebut melibatkan Negara yang seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip kecermatan dan asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.

Heru menegaskan ada potensi konflik kepentingan di balik hibah merek Merdeka Belajar.

Dalam UU Administrasi Pemerintahan diuraikan pengertian konflik Kepentingan adalah kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya. 

Pada Pasal 42 dinyatakan bahwa pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki Konflik Kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, oleh karena itu keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan oleh atasan pejabat atau pejabat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam kasus hibah Merdeka Belajar, atasan menteri adalah presiden.

"Seharusnya Mas Menteri meminta izin dahulu dengan presiden sebagai atasannya karena hibah merek Merdeka Belajar ini menyangkut kepentingan umum. Selama belum ada izin presiden dan belum dibuat akta hibahnya maka Merdeka Belajar seharusnya tidak dipergunakan dahulu oleh Kemendikbud," kata Heru kepada Gresnews.com, Selasa (18/8/2020).

Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dilatarbelakangi salah satunya adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis.

Dalam hal terdapat Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada atasannya, dalam kasus ini atasan Mendikbud adalah Presiden RI.

Menurutnya ada sejumlah peraturan perundangan yang harus diperhatikan dalam persoalan kasus pemberian hibah merek dagang Merdeka Belajar dari sebuah perseroan terbatas Sekolah Cikal kepada Kemendikbud: KUHPerdata pada Pasal 1666, 1680, 1862; UU Merek dan Indikasi Geografis; UU Administrasi Pemerintahan; UU 41/2014 tentang Wakaf; Peraturan Presiden 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Apakah pernyataan hibah sah secara peraturan perundang-undangan?

Definisi hibah dalam konteks hukum Indonesia diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata: Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Pasal 1680 KUH Perdata mengatur bahwa hibah kepada lembaga umum memerlukan persetujuan Presiden Republik Indonesia, kalau tidak maka hibah tersebut tidak sah dan tidak berakibat hukum, berpotensi kerugian negara kalau penyerahan tidak diperbaiki.

Oleh karena itu, selama Akta Hibah belum dibuat, seharusnya Kemendikbud belum atau tidak mempergunakannya terlebih dahulu, agar ada kepastian hukum.

Selain itu, KUH Perdata juga mengatur bahwa hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika presiden atau pembesar yang ditunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.

Apakah penyerahan hibah tertuang dalam Akta Hibah dan di buat di hadapan notaris?

Pembuatan Akta Hibah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang terhadap pembuatan akta tersebut, hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1682 KUH Perdata.

Akta Hibah harus disimpan oleh notaris yang bertindak atas nama negara sebagaimana diatur dalam UU Merek dan Indikasi Geografis.

Ia menjelaskan penyerahkan hibah secara hukum berarti beracara. Oleh karena itu harus ada Akta Hibah, pengalihan hak ke hibah harus didaftarkan secara resmi, harus diumumkan, ada saksi dari negera (dalam hal ini Kemenkumham), harus ada notaris yang mewakili negara, dan wajib dicatatkan .

"Jika poin pertama dan kedua di atas tidak dilakukan sesuai peraturan perundangan, bahkan Kemendikbud langsung memakai merek dagang Merdeka Belajar, maka hal itu akan berpotensi kuat melanggar UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan lantaran ada ketidakcermatan, dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan pejabat negara, tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik dan menimbulkan ketidakpastian hukum," paparnya.

Pemilik merek Tidak melepas sepenuhnya, dalam pernyataan pers Jumat lalu, terungkap bahwa pemilik merek tidak akan melepas sepenuhnya, karena ada kesepakatan yang menyebutkan bahwa merek dagang tersebut akan dipakai bersama.

Memang Pasal 43 UU Merek dan Indikasi Geografis mengatur bahwa Pemilik Merek terdaftar yang telah memberikan Lisensi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) tetap dapat menggunakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk menggunakan Merek tersebut, kecuali diperjanjikan lain.

Namun, karena penyerahan kepada lembaga umum atau negara maka seharusnya si pemilik menyerahkan sepenuhnya kepada negara.

Jika hibah tidak penyerahan murni dari pemegang merek dan pembuatan perjanjian hibah tidak mengacu pada peraturan perundangan yang ada, hal ini berpotensi besar merugikan keuangan negara dan juga kepentingan umum. (G-2)

 

BACA JUGA: