JAKARTA - Sejumlah fakta dihadirkan pada persidangan perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang diduga merugikan negara hingga Rp18 triliun. Fakta-fakta dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu berhubungan dengan adanya dugaan penyelewengan wewenang oleh terdakwa Heru Hidayat (Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk/TRAM) dan pihak Manajer Investasi (MI) yang berkaitan dengan komposisi portofolio Jiwasraya.

Dalam sidang sebelumnya terungkap modus pencucian uang dilakukan dengan pemberian uang saku kepada anggota keluarga dengan nilai ratusan juta rupiah per bulan. Jaksa aksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi yaitu putri Heru, Joanne Christie Hidayat.

JPU mengonfirmasi isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Heru, terutama pada dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan dengan cara pembelian apartemen untuk mengaburkan asal-usul kekayaan. Modusnya adalah memberikan uang saku kepada Joanne sebesar Rp100 juta/bulan melalui transfer rekening di Bank Central Asia (BCA) yang kemudian dibelikan dua unit apartemen.

Satu unit Apartemen Casa de Parco tipe studio dibeli pada 2014. CNBC Indonesia menelusuri di laman daring, apartemen yang berlokasi di BSD City, Serpong itu harganya berkisar antara Rp400 juta sampai Rp700 juta per unit.

Satu unit Apartemen Senopati Suites 2 type 3 Bedroom dibeli pada 2019. Harga berkisar antara Rp9,2 miliar sampai 13,5 miliar.

Pada bagian lain dalam persidangan muncul juga kesaksian dari Sujanto selaku Direktur Pengelolaan Investasi Departemen Pengawasan Pasar Modal 2 A pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pelanggaran yang dilakukan pihak MI dalam mengelola dana Asuransi Jiwasraya.

"Apa tindakan dari OJK terhadap lima Manajer Investasi (MI) atau enam (ditambah satu) yang masih juga tidak memenuhi petunjuk atau arahan dari saudara tadi?" cecar Jaksa KMS Roni kepada Sujanto dalam sidang yang diikuti Gresnews.com.

Sujanto menjelaskan pada 3 Februari 2016 OJK melakukan penelaahan portofolio melalui sistem e-monitoring dan hasilnya ditemukan MI yang belum melakukan penyesuaian komposisi portofolionya, di antaranya PT Milenium Danatama menjadi PT Milineal Capital Manajemen, PT Pinnacle Persada Investasi, PT Pool Advista juga PT Trizervan Investama Indonesia, dan PT Danawibawa Manajemen Investasi.

Sujanto mengatakan OJK telah mengirimkan peringatan tertulis kepada enam MI yang isinya mengenai kewajiban MI.

"Ya, jadi judulnya itu kewajiban untuk menjalankan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK/04/2016 dan Peraturan OJK Nomor 19/304/2016," katanya.

Kemudian jaksa bertanya apakah kewajiban itu dipenuhi. Sujanto mengatakan OJK tetap melakukan monitoring dan aktivitas pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Selama Maret-Agustus 2017, OJK juga melakukan monitoring kembali.

Berdasarkan monitoring OJK pada 25 Agustus 2017 ternyata terdapat beberapa MI yang disebutkan di atas itu melakukan penempatan pada efek PT Inti Agri Resources, Tbk (IIKP), PT Semen Batu Raja, Tbk (SMBR) dan PT PP Properti, Tbk (PPRO). "Itu lebih dari 10%, 20% dan kemudian dari daftar yang ada kemudian menjadi bertambah," tutur Sujanto.

Dari hasil monitoring tersebut ditemukan penambahan pada MI yang diduga melakukan pelanggaran. Lalu jumlahnya dari enam ditambah tiga menjadi sembilan MI.

Sujanto menerangkan mengenai penambahan MI dari enam menjadi sembilan. Hal itu berdasarkan monitoring OJK. Karena ada kemungkinan faktor pasar (market) dan kesengajaan.

"Memang sejak awal di-setting beli di atas 10% dan 20%. Atau bisa juga memang sudah ada. Nah itu yang sebelumnya dia di bawah 10%, katakanlah 9% atau 8%, itu bisa naik jadi 10 koma sekian atau lebih 11%. Ada dua kemungkinan itu, Pak," jelasnya.

"Market itu bisa naik, bisa juga turun. Karena bisa naik turun itu, termasuk juga komposisi portofolio, meskipun dia tidak karena faktor kesengajaan, dia didiamkan saja. Itu juga bisa mengalami kenaikan, tapi bisa juga itu karena faktor kesengajaan," tuturnya lagi.

Dalam surat dakwaan, jaksa menyatakan keenam terdakwa melakukan kesepakatan dalam pengelolaan investasi saham dan reksadana yang tidak transparan dan akuntabel. Analisis yang mereka lakukan dalam pengelolaan investasi saham serta reksadana tersebut hanya formalitas.

Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan telah melakukan pengelolaan investasi saham dan reksana tanpa analisis berlandaskan pada data yang objektif dan analisis yang profesional dalam Nota Intern Kantor Pusat (NIKP).

Ketiga petinggi Jiwasraya itu juga disebut membeli saham PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), PT PP Properti Tbk. (PPRO), dan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR) meski kepemilikannya melewati ketentuan dalam Pedoman Investasi, yaitu 2,5% dari saham yang beredar. Keenamnya didakwa bekerja sama untuk membeli dan/atau menjual saham BJBR, PPRO, SMBR dan PT SMR Utama Tbk. (SMRU).

Menurut jaksa, transaksi tersebut bertujuan untuk mengintervensi harga yang akibatnya tidak memberikan keuntungan investasi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan likuiditas untuk menunjang kegiatan operasional. Kemudian, keenamnya didakwa mengendalikan 13 manajer investasi untuk membentuk produk reksadana khusus untuk PT AJS, agar pengelolaan instrumen keuangan yang menjadi underlying reksadana PT AJS dapat dikendalikan oleh Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra).

Bukannya melakukan verifikasi yang memadai, ketiga mantan petinggi Jiwasraya malah menyetujui hal tersebut. Meskipun mengetahui bahwa produk reksadana yang dikendalikan Joko tidak menguntungkan dan tidak dapat menunjang operasional perusahaan. (G-2)

 

 

BACA JUGA: