JAKARTA - COVID-19 telah memporak-porandakan perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu berbenah diri untuk mengejar ketertinggalan ekonomi sekaligus mengatasi penyebaran penyakit itu.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahkan menyebut COVID-19 betul-betul memberikan dampak sistemik, massif dan terstruktur, tidak hanya dalam hal kesehatan tapi juga perekonomian.

"Hari ini apa yang terjadi, kita lihat bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II negara kita minus sekitar 5,32%," kata Bahlil dalam sebuah webinar yang diikuti Gresnews.com, Rabu (12/8/2020).

Ia menjelaskan Indonesia tertinggal dari negara lain seperti China yang ekonominya membaik dibandingkan dengan kuartal I. Pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi China sudah mencapai 3,2%. Di sisi lain Eropa mengalami kontraksi ekonomi, pertumbuhannya merosot hingga minus 14,3%, yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan Amerika Serikat yang minus 9,5%.

Menurut Bahlil, yang menarik adalah Korea Selatan. Kendati pertumbuhannya minus tapi hanya 3%, tidak seturun Indonesia.

Begitu juga dengan Vietnam yang justru masih mampu mencatat pertumbuhan ekonomi positif 0,4%.

Dari potret tersebut, ujarnya, dapat dikaji apa faktor penyebab kondisi ekonomi Indonesia merosot di luar dugaan. Apalagi beberapa lembaga negara termasuk Kementerian Keuangan memprediksi penurunan kurang lebih hanya 4%. Bahkan BKPM menganalisis berdasarkan realisasi investasi kuartal ll dan masih optimistis pertumbuhan minus 3%.

Salah satu faktornya, kata Bahlil, adalah daya saing investasi Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam. Ada tiga persoalan objektif terbesar: birokrasi, lahan, dan upah. "Jadi ini juga salah satu kondisi yang tidak terlalu baik untuk kita dalam melakukan persaingan dengan negara-negara lain," katanya.

Investasi harus masuk untuk mendorong dua hal. "Yang pertama adalah konsumsi pasti akan muncul dan kedua adalah pasti mempunyai nilai tambah," tutur Bahlil.

Salah satu upaya pemerintah adalah merampungkan Undang-Undang Omnibus Law untuk mempermudah perizinan. Artinya cukup satu lembar izin sudah didapat tapi tetap memperhatikan isu lingkungan. Salah satunya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

AMDAL bagus. Tetapi kadang-kadang juga menjadi sumber malapetaka. Kenapa? Contoh kecil UMKM membangun usaha gedung cuma 6.000 meter persegi dengan investasi mungkin cuma Rp700 juta. "Tapi membangun AMDAL-nya itu bisa Rp1 miliar. Karena konsultan ini, konsultan ini, konsultan ini," tuturnya.

Untuk AMDAL, kata Bahlil, dalam aturan baru, untuk usaha kecil ditiadakan tetapi yang menengah ada UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan). Sementara bagi usaha besar dengan nilai investasi tinggi tetap harus ada aturannya. Namun memang birokrasinya diperpendek.

Sementara itu pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Poppy Ismalina menyodorkan solusi pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan kekuatan lokal dan global yang signifikan.

Menurutnya ada tiga hal yang seringkali mempengaruhi kecepatan pemerintah untuk bergerak dalam meningkatkan kinerja ekonomi.

Pertama adalah dominasi usaha mikro. Ada 98,7% dalam perekonomian jenis usahanya adalah usaha mikro. Karakteristiknya adalah jumlah pekerja maksimal lima orang. Omset rata-rata paling tinggi adalah Rp2 juta per bulan.

Kedua, soal kualitas tenaga kerja. Sampai 2019, 72,89% pekerja mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.

Ketiga, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, yang melahirkan ekonomi biaya tinggi. Adanya persoalan penyerapan anggaran atau ada ketakutan bahwa studi kelayakan menjadi tidak akan efektif karena banyak pungli. "Betul-betul menganggu," kata Poppy.

Solusinya, kata Poppy, adalah pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan kekuatan ekonomi lokal dan peran diversifikasi ekonomi global. Jadi prioritas kebijakan adalah tetap pada pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, yang menekankan bagaimana Indonesia lebih membuka diri tapi tetap kekuatan ekonomi lokal dibangun. "Saya sangat yakin itu bisa berjalan," katanya.

Rektor Universitas Paramadina Firmanzah berpendapat untuk menuju persaingan global, persoalan pertama adalah underlying dari bangunan ekonomi.

Menurutnya, Indonesia harus memiliki karakter kuat dalam globalisasi. "Kita jangan menjadi korban globalisasi tapi kita harus menjadi aktor globalisasi," kata Firmanzah.

Prinsipnya adalah kalau Singapura, Malaysia, Australia, Eropa, China, Amerika Serikat masuk ke Indonesia maka Indonesia pun bisa masuk ke negara mereka. "Karakter itu yang harus kita bangun," katanya. (G-2) 

BACA JUGA: