JAKARTA - Sidang perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp16,89 triliun kembali bergulir di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/8/2020). Kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggali keterangan dari para saksi terkait penempatan sejumlah dana Jiwasraya dalam Kontrak Pengelolaan Dana (KPD).

Sidang dihadiri terdakwa Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro (Bentjok), Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto yang menjalani sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan empat orang saksi.

Awalnya ada lima orang saksi dihadirkan, namun di tengah sidang, Heru keberatan atas hadirnya saksi Joana Cristine Hidayat. Joana adalah putri Heru. Menurut Heru, anaknya itu tidak mengerti apa-apa atas kasusnya tersebut.

Tersisa empat orang saksi: Direktur Gunung Bara Utama Pang Jaya, Direktur Utama PT Treasure Fund Investama Indonesia (TFI) Dwinanto Anggoro, Marketing Saham Andalan Sekuritas Sumin Tanudin dan Direktur Equity Lotus Alwi Halim.

Salah satu saksi yang dicecar JPU adalah Dwinanto. TFI menjadi salah satu dari 13 perusahaan manajer investasi (MI) yang terlibat dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 26 Juli 2020.

Dari data diketahui ada aliran dana dari Jiwasraya kepada TFI senilai Rp1,21 triliun dengan perincian Rp481,5 miliar masuk ke reksa dana Treasure Super Maxxi, Syariah Saham Rp239,9 miliar, dan Treasure Saham Mantap Rp495 miliar.

Jaksa juga menanyakan adanya istilah kode Senayan.

"Itu Pak Joko Hartono Tirto, [kode] untuk subscribed [beli] dan redeem [tarik dana]," jawab Dwinanto.

Joko, Direktur PT Maxima Integra, merupakan anak buah Heru.

Dwinanto menyatakan, melalui Joko, ada saham-saham yang ditawarkan untuk dibeli TFI Indonesia dan yang komposisinya cukup besar adalah emiten milik Heru Hidayat: PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) senilai Rp142 miliar dan PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP) senilai Rp79 miliar.

Saham lain yang juga ditawarkan Joko adalah PT Darma Henwa Tbk (DEWA), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE), PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY) dan PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN).

Sementara itu penasihat hukum Heru, Aldres, juga mencecar Dwinanto terkait Kontrak Pengelolaan Dana (KPD).

Dalam sidang sebelumnya terungkap Jiwasraya telah mengalami kerugian investasi saat krisis tahun 2008. Demi menutupi kerugian itu maka dibentuklah Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) kemudian masuk ke pembentukan Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) pada 2008.

Hal itu dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan Bapepam LK Nomor 43/2008 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas. Maka Jiwasraya melalui fasilitas regulator membuat RDPT dengan membuat harga saham yang tadinya turun dan tidak divaluasi sesuai harga pasar sehingga tidak mencatat kerugian.

Saham yang minus kemudian dipindah ke RDPT sehingga bisa menghilangkan nilai kerugian yang belum terealisasi (unrealized loss). Jadi selisih minus antara harga perolehan saham yang manajer investasi beli dibandingkan harga pasar waktu itu nilainya cukup besar yaitu lebih dari Rp100 miliar.

"Baik coba kita lihat sama-sama ya. Waktu KPD itu kan Jiwasraya masuk setorannya berupa saham dan waktu naik Rp75 miliar. Betul?" kata Aldres.

Iya," jawab Dwinanto.

Ia menjelaskan saham ini jumlahnya dihitung dari harga perolehannya Jiwasraya. Pada saat itu nilai perolehan Jiwasraya dibandingkan dengan nilai pasar senilai Rp411 miliar.

"Sedangkan valuasi harga marketnya saat itu Rp294 miliar," jelasnya.

TFI Indonesia menilai menggunakan harga perolehan Jiwasraya sebesar Rp411 miliar dengan selisih sekitar Rp120 miliar.

"Itu kok TFI mau ya, terima menghitung barang Rp411 miliar padahal nilai pasarnya Rp294 miliar?" tanya Aldres.

"Hal itu sebetulnya biasa, Pak. Kita sebagai manajer investasi, kita mengistilahkannya restructuring untuk portofolio-portofolio nasabah institusi yang sedang drop saat itu," katanya.

Dwinanto menjelaskan hal itu terjadi pada 2008, saat krisis global terjadi.

Aldres kembali bertanya. "Saudara pegang nggak datanya, nilai perolehan Jiwasraya dengan nilai aktual di pasar pada tanggal KPD ini dimulai untuk tiap-tiap sahamnya?"

Menurut Dwi, semua saham saat itu mengalami penurunan, kecuali saham IIKP dan BNII yang dimiliki oleh Jiwasraya.

"Iya, pastinya yang diserahkan ke kita pastinya turun, Pak," kata Dwinanto.

Aldres kembali bertanya. "Jadi dari total tadi nilai saham yang nilai aktualnya Rp294 miliar ditambah uang tunai Rp75 miliar itu berapa nilai pasarnya yang sebenarnya di-subscribed (beli) oleh Jiwasraya yang dibentuk KPD?"

"Totalnya Rp369 miliar," jawab Dwinanto.

RDPT KPD diakhiri pada September, secara umum kondisinya lebih baik. Saat harga closing pada hari penyerahan dengan harga sebesar Rp488 miliar. Berarti ada kenaikan atau keuntungan sekitar 30% dengan nominal Rp120 miliar.

Tanya Aldres kembali. "Begini, Pak. Bagaimana caranya bapak mengubah saham-saham yang semula ini waktu diakhiri KPD-nya jadi saham-saham lain, itu bagaimana transaksinya?"

"Ya, beberapa saham ini kan akhirnya kan bisa kita jual terus kita ganti saham-sahamnya dengan saham-saham yang ditawarkan oleh Pak Joko pada saat itu. Tujuannya bagi saya ya supaya valuasi dari KPD ini menjadi lebih baik," tutur Dwinanto.

Selain itu, Dwinanto mengatakan ada juga penawaran dari Joko yang ditolak.

"Artinya saat itu mungkin ada sih, Pak. Karena nggak mungkin semuanya saya terima," katanya. (G-2)

 

BACA JUGA: