JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan DPR bersikap transparan, terbuka kepada publik terkait pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Transparansi itu diperlukan mengingat Perpres tersebut dinilai mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia karena memberikan kewenangan yang luas dan berlebih kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme.

"Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka," ujar peneliti sekaligus Direktur Imparsial Al Araf dalam keterangan tertulis diterima Gresnews.com, Senin (3/8/2020).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Kontras, Imparsial, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Public Virtue Institute , ICW, LBH Pers, LBH Jakarta, ICJR, Perludem, dan Pilnet Indonesia

Menurut Araf, rancangan Perpres tersebut telah menimbulkan kontroversi dan penolakan dari masyarakat sejak pertama digulirkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Ada berbagai petisi penolakan telah disampaikan oleh akademisi, aktivis mahasiswa, hingga LSM. "Seharusnya pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mengakomodasi masukan masyarakat," ujarnya.

Lanjut Araf, menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draf rancangan Perpres yang sudah jadi kepada publik. Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-nutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat.

Sementara itu Ketua SETARA Institute for Democracy and Peace Hendardi menegaskan rancangan Perpres ini merupakan kemunduran reformasi sektor keamanan karena membuka kembali pintu supremasi militer.

Ia menjelaskan setelah genap dua dasawarsa pemisahan TNI-Polri melalui TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran paling serius jika rancangan Perpres disahkan sebagai turunan dari Pasal 43I UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Kepemimpinan nasional di bawah Jokowi-Maruf Amin akan menjadi kepemimpinan terlemah dalam menjalankan reformasi sektor keamanan karena merusak desain TNI dan Polri sebagaimana amanat reformasi, yang meletakkan TNI sebagai alat pertahanan dan Polri sebagai instrumen menjaga keamanan, menciptakan ketertiban dan menegakkan hukum," ujarnya kepada Gresnews.com, Senin (3/8/2020).

Sebelumnya, pelibatan TNI dalam jabatan-jabatan sipil dan impunitas dari tuduhan pelanggaran HAM berat dalam banyak kasus. Ini juga menjadi penanda kemunduran reformasi sektor keamanan yang mencemaskan.

Menurut Hendardi, bukannya menuntaskan reformasi sektor keamanan seperti penghapusan komando teritorial, perubahan UU 31/1997 tentang Peradilan Militer dan membentuk UU Perbantuan Militer sebagai dasar pelibatan TNI dalam kehidupan sipil, kepemimpinan Jokowi justru terus menerus memanjakan TNI.

Polanya dengan memberikan privilege pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas. Sebagaimana pelibatan tanpa batas dan tanpa akuntabilitas dalam Perpres ini yang menjadikan TNI leluasa menangkal, menindak dan memulihkan tindak pidana terorisme.

Selain itu juga bebas mengakses APBD atas nama terorisme, termasuk bebas dari tuntutan unfair trial dan praperadilan manakala TNI keliru dalam melakukan penindakan tindakan terorisme. 

"TNI adalah alat pertahanan yang kehadirannya dalam ranah sipil dan penegakan hukum hanya diperkenankan atas dasar kebijakan politik negara, bersifat sementara, ada batas waktu, kekhususan jenis penugasan, dan disertai mekanisme akuntabilitas yang presisi," ujarnya.

Sementara itu, lanjut Hendardi desain pelibatan TNI dalam memberantas tindak pidana terorisme, sebagaimana draf Perpres, pelibatan itu bersifat permanen dan melampaui tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP).

Padahal itu semestinya hanya ditujukan pada level penindakan dan pada objek tertentu di mana Polri, sebagai unsur utama dalam criminal justice system, sudah tidak mampu menangani tindakan terorisme tersebut (beyond the police capacity).

Menurutnya, UU 5/2018 tersebut mengedepankan pendekatan penegakan hukum (criminal justice system), sehingga seluruh unsur yang terlibat dalam penindakan harus dapat melakukan penyesuaian dengan sistem tersebut, terutama dalam hal pertanggungjawaban operasi dan perlindungan HAM.

Pelibatan TNI sesungguhnya dimungkinkan pada tingkat tertentu dimana eskalasi ancaman masuk dalam lingkup ancaman militer, dan dijalankan dengan perintah otoritas politik.

Karenanya diperlukan definisi yang jelas tentang “Aksi Terorisme” yang menjadi Tupoksi TNI dan “Tindak Pidana Terorisme” yang menjadi ranah aparat penegak hukum, agar tidak terjadi potensi tumpang tindih peran.

Klaim pemerintah yang disampaikan melalui Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa rancangan Perpres tersebut sudah disetujui pemerintah dan dikirimkan ke DPR (29/7/2020) adalah bentuk keengganan pemerintah membela mandat reformasi TNI karena dengan mudah meloloskan kehendak politik TNI memasuki kehidupan sipil secara sistematis.

Mahfud MD tampaknya kurang cermat bahwa pembentukan rancangan Perpres ini memuat banyak norma-norma baru yang melampaui mandat Pasal 43 I yang menjadi dasar hukum yang memerintahkan, menjadikan rancangan Perpres tersebut mutlak membuka ruang partisipasi publik, dibahas secara terbuka dan tidak dilakukan dengan tergesa-gesa.

Bahkan UU 5/2018 pun memandatkan Perpres tersebut dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan DPR.

Mengapa Perpres ini membutuhkan afirmasi dari DPR? Karena sifat Perpres ini yang mencerminkan sifat yang sama seperti UU karena banyaknya norma-norma baru yang dibentuk dan bentuk perwujudan keputusan politik negara.

Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah dan DPR membuka proses pembahasan dan pengesahan RPerpres dengan seluas-luasnya melibatkan partisipasi akademisi, aktivis, organisasi masyarakat, dan lain sebagainya. 

Ia meminta agar DPR, yang menurut Mahfud MD sudah menerima draft RPerpres tersebut, tidak tergesa-gesa memberikan persetujuan tanpa pembahasan yang detail dan terbuka.

Tugas DPR adalah memastikan agenda reformasi sektor keamanan sebagaimana mandat TAP MPR di atas tidak diingkari. Sekali saja TNI diberi legalitas memasuki kehidupan sipil dan menjadi pengadil tindak pidana terorisme, selanjutnya TNI akan kembali mengukuhkan supremasi militer dalam seluruh sendi kehidupan bernegara.

"Reformasi sektor keamanan tidak boleh dirusak. Pintu pelibatan tanpa batas harus ditutup," ujarnya.

Sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme sudah selesai.
Selain itu ia juga mengatakan pemerintah juga telah berdiskusi dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

"Perdebatan cukup seru. Kita juga sudah bicara dengan sejumlah kalangan, termasuk teman-teman LSM. Bahwa teror itu bukan urusan hukum semata, tidak semuanya diselesaikan hanya oleh polisi,” kata Mahfud dalam keterangan yang disampaikan Tim Humas Kemenko Polhukam pada Kamis (30/7/2020).

Meski begitu Mahfud mengatakan masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan. Ia pun optimistis sebentar lagi DPR akan segera memproses Perpres tersebut. (G-2)

BACA JUGA: