JAKARTA - Anak-anak menjadi kelompok yang rentan tertular COVID-19. Dari segi kesehatan, mereka masih memerlukan imunisasi sebagai penopang imunitas tubuhnya. 

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Subandi mengatakan pandemi COVID-19 mengubah tatanan kehidupan bukan hanya di sektor kesehatan melainkan juga kehidupan ekonomi dan sosial.

"Komunitas kita jadi webinar ya. Jadi ini menjadi komunitas baru tadinya bisa hang out, ngopi-ngopi bareng tapi sekarang harus lewat online. Tentunya yang sangat berpengaruh terhadap kelompok rentan termasuk terhadap anak-anak kita," kata Bandi dalam Webinar Analisis dan Rekomendasi Tindakan untuk Kelompok Rentan di Masa Pandemi COVID-19 yang diikuti oleh Gresnews.com, Selasa (14/7/2020).

Penderita COVID-19 di dunia terus bertambah, termasuk di Indonesia. Proyeksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) menyebutkan puncak pandemi COVID-19 pada akhir September atau awal Oktober 2020.

Jadi, menurut Bandi, perlu diperhatikan betul keamanan kelompok rentan yakni anak-anak. Apalagi saat ini data menunjukkan kerentanan tertular COVID-19 pada anak semakin besar peluangnya. Terlebih lagi sekarang ini anak usia 12 sampai 23 bulan baru 58% yang mendapatkan imunisasi lengkap. Berarti sisanya ada 42% anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi. "Ini menjadi anak-anak yang rentan terhadap penyakit," ujarnya.

Data anak-anak yang positif COVID-19 sebanyak 5.777 anak dan 1,2% anak meninggal. Jadi kasus Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) pada anak itu banyak. Kalau mereka meninggal belum terdeteksi maka dia itu positif atau tidak tidak ketahuan apakah meninggal positif COVID-19 atau tidak. "Kalau menurut indikasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) cenderung ke COVID-19," jelasnya.

Selain masalah pada anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi ada juga data bahwa 50% menderita tuberkulosis pada balita. Selain itu pneumonia adalah pembunuh terbesar pada anak-anak setelah diare. Penderita pneumonia ini juga indikasinya ratusan ribu pada anak.

"Kalau anak-anak ini terkena COVID-19 jadi makin rentan. Ini harus kita protect bagaimana ini. Makanya Bappenas itu berpikir bukan untuk sekarang tapi setelah COVID-19. Ini menjadi pembelajaran untuk membenahi sistem kesehatan kita dan melindungi penduduk Indonesia. Terutama anak-anak kita," terangnya.

Selain itu, lanjut dia, anak yang hidup di bawah garis kemiskinan ada sebanyak 11% yang tentu saja berdampak pada kesempatan pendidikan. Ditambah lagi anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki sanitasi dan air bersih yang baik sehingga menambah kerentanan.

Sementara itu Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Indonesia Ali Aulia Ramly mengatakan pada masa pandemi COVID-19 pemerintah seharusnya memfokuskan pada perlindungan anak dalam konteks pencegahan maupun penanganan kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran. Kekerasan itu salah satunya datang dari orang tua pengasuh anak-anak.

Menurutnya perubahan rutinitas akibat COVID-19 juga memunculkan risiko kekerasan kepada anak. Risiko pertama adalah meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan juga perlakuan salah terhadap anak-anak.

Ia menjelaskan kalau melihat gambaran secara global ada peningkatan kasus kekerasan yang dilaporkan selama COVID-19 sekitar 30%. Itu terjadi pada minggu-minggu awal pandemi termasuk di negara maju.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Setidaknya bisa dilihat apa yang disampaikan dari hasil kajian Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa lebih dari 10% perempuan yang menjadi responden mengatakan ada peningkatan kekerasan.

Selain itu, perubahan pola hidup anak-anak yang sekarang belajar secara daring menjadi risiko bagi anak-anak yang tadinya tidak biasa beraktivitas internet kini berlama-lama menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas tersebut. "Ini membuka peluang bagi predator untuk akses mereka," kata Ali.

Untuk menghadapi itu maka harus dibuat ruang aman, yaitu di rumah. Namun akan menemui tantangannya ketika di rumah memiliki keterbatasan ruang yang sempit untuk beraktivitas bersama di luar.

"Menyangkut layanan ekonomi kita perlu memperluas dukungan, memastikan dukungan pendapatan rumah tangga dan kesejahteraan secara umum," ungkapnya.

Risiko yang kedua berhubungan dengan psikososial anak dan keluarga serta isu kesehatan mental.

Risiko ketiga adalah gangguan terhadap kapasitas pengasuhan. Anak-anak yang hidup di luar pengasuhan keluarga berpotensi menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar dan gangguan tumbuh kembang.

Risiko yang keempat adalah gangguan atau meningkatnya tantangan untuk mengakses bagi anak.

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia Santi Kusumaningrum menyampaikan sejak akhir April dan awal Mei lalu, bersama UNICEF, pemerintah telah menyusun sebuah kajian kebijakan.

Intinya menganalisis data-data yang ada dan juga berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang yang dikumpulkan dari literatur. Mencoba untuk membantu memberikan rekomendasi tentang langkah apa yang perlu diambil pemerintah pusat maupun daerah untuk membantu anak-anak dan kelompok rentan menghadapi pandemi ini.

"Situasi global telah menuntut kita untuk segera serba cepat untuk mengambil keputusan," kata Santi.

Salah satunya kebijkan penyaluran bantuan untuk membantu warga yang terdampak.

"Misalnya dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan dana desa itu definisi penerima manfaatnya sudah diperluas menjadi Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)," katanya. (G-2)

BACA JUGA: