JAKARTA - Joko Soegiarto Tjandra, buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar, kembali absen dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Untuk kedua kalinya terpidana itu tak hadir dengan alasan sakit.

"Karena pemohon Joko Tjandra tidak hadir hari ini maka sidang ditunda hingga minggu depan," kata Ketua Majelis Hakim PN Jaksel Nazar Effriandi dalam persidangan yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (6/7/2020).

Hakim pun mempersilakan pemohon untuk mengajukan permohonannya. "Mohon izin yang mulia untuk hari ini pemohon tidak bisa hadir dengan alasan masih sakit. Kami ada surat keteranganya, izin untuk menyerahkan," kata Andi Putra Kusuma, penasihat hukum (PH) Joko Tjandra.

Lalu Nazar membacakan surat izin sakit yang diberikan oleh pengacara yang menyatakan Joko Tjandra dirawat di sebuah klinik di Kuala Lumpur, Malaysia. Surat keterangan sakit dari dokter Steven itu menyebut Joko harus istirahat selama delapan hari sejak 1 Juli sampai 8 Juli 2020.

Dengan alasan sakit itu, hakim memutuskan sidang kembali ditunda selama dua pekan hingga 20 Juli 2020. Hakim meminta Joko Tjandra untuk hadir sidang secara langsung. "Dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) selama dia tidak menjalani pidana maka harus hadir paling tidak dalam sidang pertama," kata Nazar yang menekankan agar Joko Tjandra datang dalam persidangan mendatang.

Andi Putra menegaskan pihaknya telah mengupayakan kehadiran Joko Tjandra ke Indonesia agar pelaksanaan PK bisa dilanjutkan. Namun tidak berkomunikasi secara langsung karena dilakukan melalui tim yang lain dengan melalui ponsel saja. "Terakhir komunikasi hari ini masih ada," tuturnya.

Adapun mengenai laporan Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) ke Bareskrim Polri bahwa penasihat hukum menghalang-halangi penegakan hukum, dia menjelaskan pada dasarnya ia menghormati laporan yang diajukan oleh KAKI.

Namun kalau tuduhannya adalah Pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi.

"Yang pertama, saya tidak pernah menyembunyikan Joko Tjandra. Saya bawa ke PN Jaksel, tim kami bawa ke PN (Jaksel), tempat umum. Ini tempat umum semua orang bisa bertemu dan melihat. Artinya yang melihat Pak Joko semua dianggap tidak melaporkan dan menyembunyikan, banyak ini yang menyaksikan beliau di PN ini," terangnya.

Kedua, menurutnya, bisa dilihat dari siaran pers Kemenkumham bahwa Joko Tjandra sejak 2012 sudah tidak lagi tercatat sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Baru kemudian dua hari sebelum sidang pada 27 Juni lalu statusnya sebagai DPO ditetapkan lagi oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.

"Red notice dan juga cekal di imigrasi baru dipasang lagi pada 27 Juni," katanya.

Sedangkan permohonan Jaksa diajukan pada 29 Maret 2012. Terakhir permohonan pencegahan dan itu berlaku 6 bulan.

"Artinya tahun 2014 red notice-nya sudah tidak tercatat," ungkapnya.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) Ridwan Ismawanta seusai persidangan menjelaskan mengenai status DPO Joko Tjandra. Berdasarkan informasi dari surat keterangan sakit itu, jaksa langsung melakukan penelusuran. Diketahui bahwa Joko Tjandra saat ini berstatus buron.

"Kita perlu mengecek kebenarannya, karena hari ini kita baru terima surat itu," ujarnya. 

Ridwan mengatakan informasi itu bisa menjadi titik pencarian awal Joko Tjandra. Dia juga menuturkan baru mengetahui alamat rumah sakit tempat Joko dirawat.

Menurutnya, status Joko Tjandra masih DPO. Hal itu menurut keterangan dari kejaksaan. Terkait red notice yang sempat ditarik lalu didaftarkan lagi oleh kejaksaan, Ridwan coba menerangkan.

"Kalau red notice kita meski tunggu dari Interpol. Kita kemarin sudah ada surat kembali,"tuturnya.

Ia menegaskan Joko Tjandra bakal langsung dieksekusi jika hadir dalam sidang permohonan PK. "Kalau minggu depan ada, langsung eksekusi di tempat. Sebelum sidang harus ditangkap, karena kami eksekutor. Kami harus mengeksekusi putusan PK tahun 2009," ujarnya.

Kejaksaan mempersilakan Joko Tjandra untuk melanjutkan sidang permohonan PK-nya setelah dieksekusi. "Kalau mau PK lagi, monggo. Pasti kita layani," imbuhnya.

Joko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Joko Tjandra. Tapi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.

Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Joko Tjandra ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joko Tjandra dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp15 juta. Uang milik Joko Tjandra di Bank Bali sebesar Rp546,166 miliar dirampas untuk negara.

Joko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Joko Tjandra sebagai buronan.

Kini, Joko Tjandra mengajukan PK ke PN Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020. Sidang pertama sempat dilakukan pada 29 Juni 2020, namun ditunda karena Joko Tjandra tidak hadir. Sidang hari ini juga ditunda.

Sementara itu, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut Joko Tjandra membuat e-KTP di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020.

"Semestinya Joko Tjandra tidak bisa mencetak KTP dengan identitas WNI dikarenakan telah menjadi warga negara lain dalam bentuk memiliki pasport Negara Papua Nugini," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Senin, 6 Juli 2020.

Boyamin mengatakan berdasarkan Pasal 23 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia kewarganegaraan hilang apabila memiliki paspor negara lain.

Ia mengatakan dengan menggunakan e-KTP yang baru dibuat itu, Joko Tjandra kemudian mengajukan upaya PK melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020.

MAKI menganggap PN Jaksel seharusnya menghentikan proses pengajuan PK tersebut karena Joko Tjandra menggunakan kartu identitas yang tidak sah dan adanya perbedaan tahun lahir KTP baru, yaitu 1951. Sementara pada dokumen lama pengadilan tahun kelahiran Joko Tjandra ialah 1950.

Boyamin mengatakan akan melaporkan Dinas Dukcapil Jakarta Selatan ke Ombudsman karena sengkarut sistem kependudukan atau E-KTP Joko Tjandra itu. Selain itu, Dirjen Imigrasi juga akan dia laporkan karena lolosnya Joko Tjandra hingga bisa masuk ke Indonesia. (G-2)

 

BACA JUGA: