JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai sampai saat ini belum ada tanda-tanda perbaikan penanganan COVID-19 oleh pemerintah. Padahal perbaikan kondisi ekonomi sangat tergantung dari bagaimana pemerintah menangani COVID-19.

Peneliti INDEF Izzuddin Al Farras Adha kepada Gresnews.com, Selasa (23/6/2020), memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 akan lebih buruk dan anjlok hingga minus lebih dari 1%. Dalam skenario sangat berat yang dilansir INDEF pada Mei lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebutkan berada pada angka -0,26%.

"Sejak awal pandemi, kami sudah mengingatkan pemerintah akan bahaya resesi ekonomi bila penanganan COVID-19 berjalan sangat lambat," kata Farras.

Ia mengatakan kunci penanganan COVID-19 adalah 3T (test, tracking, tracing): memperbanyak tes, mendeteksi orang yang berpotensi tinggi tertular, dan melacak persebarannya di daerah.

Namun hingga 23 Juni 2020 kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia mencapai 47.896, meningkat 1.051 kasus dalam 24 jam per Minggu (22/6/2020), seperti dilansir Worldometers.

Dengan demikian Indonesia menempati urutan pertama kasus terbanyak di Asia Tenggara diikuti Singapura (42.432 kasus), Filipina (31.825 kasus), Malaysia (8.590 kasus), dan Vietnam (349 kasus).

Farras pun menegaskan kebijakan pemulihan ekonomi nasional harus benar-benar dijalankan dengan baik dan benar. Artinya harus segera terlaksana di lapangan. "Misalnya, bansos (bantuan sosial) harus segera sampai kepada masyarakat dan tepat sasaran," ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengakui besarnya potensi Indonesia masuk jurang resesi ekonomi jika dalam masa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) daya beli masyarakat tetap lesu. Padahal pemerintah berharap pemulihan ekonomi bisa berlangsung selama pelonggaran PSBB.

Apalagi pada saat bersamaan anggaran penanganan COVID-19 mulai tersalurkan dan dengan dukungan belanja itu diharapkan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi triwulan III dan IV 2020 sebesar 1,4%. Tapi sebaliknya jika triwulan II dan III 2020 ekonomi Indonesia negatif maka bisa terjadi resesi dengan pertumbuhan ekonomi -1,6%.

"Itu secara teknis kita bisa resesi kalau pertumbuhan kuartal II negatif, kuartal III negatif, maka Indonesia bisa masuk dalam zona resesi," tutur Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR, di Gedung DPR Jakarta, Senin (22/6/2020). 

Di sisi lain Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan negatifnya ekonomi pada kuartal II 2020 terlihat dari beberapa indikator, salah satunya penjualan mobil yang terjun bebas 93,21%, sementara motor turun 79,31%.

"Jadi dalam sekali (turunnya), demikian juga dengan impor bahan baku," kata Suhariyanto di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Senin (22/6/2020).

Selain itu, sinyal lainnya juga bisa dilihat dari jumlah penumpang angkutan transportasi. Di sektor udara terjadi penurunan 87,91% pada kuartal II 2020. "Ini semua perlu diantisipasi baik dari sisi permintaan, penawaran, dan pada akhirnya investasi," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: