JAKARTA - Kisah koperasi yang diduga menilap uang para nasabahnya kembali terulang. Kali ini menimpa nasabah Koperasi Simpan-Pinjam (KSP) Indosurya Cipta yang kehilangan dana ditaksir hingga Rp14 triliun.

Salah satu nasabah Koperasi Indosurya Agus H. Wijaya mengatakan kabar gagal bayar Koperasi Indosurya dimulai sejak Februari 2020. Dana nasabah yang telah jatuh tempo tidak bisa dicairkan. "Ini di luar dugaan, itu juga terjadi pada saya," kata Agus kepada Gresnews.com, Jumat (12/6/2020).

Nilai kerugian para nasabah yang berjumlah sekitar 5.700 orang saat pendaftaran penagihan piutang untuk proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sudah mencapai Rp14 triliun.

Ia meminta pemerintah untuk memperhatikan kasus Indosurya, khususnya Polri, agar bekerja dengan sepenuh hati. Selain itu juga mengingat nasabah Indosurya adalah korban dan pelaku ekonomi yang sudah jatuh tertimpa tangga, sebab terdampak COVID-19 dan didera perkara Indosurya. Ia meminta bantuan pemerintah menyelesaikan ini.

"Sebenarnya aset Rp14 triliun ini bisa digunakan untuk meningkatkan ekonomi. Hanya gara-gara satu orang itu, hanya Hendri Surya merusak semua. Memang ada bapaknya, namanya Surya Efendi, cuci tangan tidak mau tahu. Padahal dia pendiri dari Indosurya dan banyak aset berupa gedung atas nama Surya Efendi. Ada satu lagi istri ketiga dari Hendri Surya namanya Natalie Chandra. Ia diduga ikut menikmati dana dari nasabah Indosurya melalui Hendri Surya," ungkapnya.

Ia menegaskan bantuan pemerintah yang dimaksudkan bukan berarti penggantian kerugian dari nasabah. Namun ia meminta pemerintah untuk mengawal atau memberikan perhatian, terutama untuk pihak kepolisian. Agar kepolisian dalam memproses laporan pidana Indosurya itu tidak lambat untuk melakukan penyitaan aset.

Selain mengajukan gugatan perdata, para nasabah juga telah membuat laporan pidana ke pihak kepolisian. Perkembangan terakhir kasus ini pada 3 Juni 2020, aliansi korban Indosurya memberikan kuasanya kepada Otto Hasibuan sebagai penasihat hukum.

Kata Agus, Otto Hasibuan pernah berkunjung ke Mabes Polri untuk menanyakan perkembangan penyidikan laporan pidana atas nama Hendri Surya, pemilik Koperasi Indosurya. "Jadi kepolisian sudah menetapkan Hendri Surya sebagai tersangka tetapi belum dilakukan penahanan," jelasnya.

Selain itu, polisi sudah melakukan penyitaan aset terhadap Indosurya berupa mobil Avanza. Namun itu tidak sebanding dengan dana nasabah.

Padahal aset lainnya sedemikian banyak termasuk gedung-gedung yang dipakai sebagai perkantoran. "Di Jakarta ada kurang lebih 20 sampai 30 gedung itu," kata Agus.

Menurutnya pelaporan sudah dilakukan sejak Maret 2020 sampai Juni 2020. Selama tiga bulan penyitaan terhadap aset tidak signifikan, dan dianggap tidak berarti.

"Di sini yang diharapkan oleh nasabah, mohon perhatian dari bapak-bapak yang ada di pemerintahan, khususnya Presiden, agar bisa menyampaikan kepada kepolisian bahwa harus serius dalam menjalankan tugasnya. Karena kerugian ini dialami oleh pelaku ekonomi,"ungkapnya.

Agus menduga bahwa aset Indosurya itu dilarikan ke luar negeri sehingga meminta kepolisian untuk mengenakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Polisi juga diminta bekerjasama dengan PPATK untuk menelusuri aliran uangnya.

"Ada 40 kondominium di Singapura yang ditengarai milik Hendri Surya. Melalui perusahaan Zenith Capital di Singapura dipakai sebagai kendaraan untuk membeli properti yang ada di Singapura itu," kata Agus menuturkan yang menegaskan informasi itu valid lantaran berasal dari Direktur Marketing dan Staf Indosurya.

Lanjutnya, para nasabah berharap kepolisian bisa bertindak cepat dalam penahanan dan penyitaan aset terutama aset yang ada di dalam negeri. Sedangkan aset yang ada di luar negeri biasanya perusahaan harus pailit dulu. Nanti hakim akan menunjuk seorang kurator yang bertugas untuk mengumpulkan harta dari Indosurya, termasuk yang ada di luar negeri.

Nasabah lainnya Irvan menjelaskan awalnya disangka hanya sedikit nasabah yang mengalami gagal bayar. Tapi ternyata melebar ke mana-mana hingga sekarang jumlahnya sangat banyak. Para korban mengalami depresi, ada yang sakit jiwa, hingga anaknya putus sekolah.

"Awalnya Rp10 triliun dan terakhir sudah ada Rp14 triliun setelah kita data semua," kata Irvan kepada Gresnews.com, Kamis (11/6/2020).

Menurutnya, sudah ada secara perorangan yang melaporkan kasus ini ke ranah pidana. Aliansi forum nasabah juga akan melaporkannya.

Nasabah menduga Hendri Surya telah merencanakan hal ini sejak lama. Lantaran pada umumnya kalau ada gagal bayar, maka pemilik perusahaan melakukan komunikasi publik untuk jumpa pers bertemu dan berbicara dengan nasabah. Tapi Hendri Surya tidak pernah melakukan hal itu.

Hendri Surya hanya mengeluarkan memo. Memo yang disebut 212 oleh para nasabah. Hal itu karena memo itu bernomor 212 tertanggal 24 Februari 2020.

Isi memo tersebut mengatakan Indosurya akan mengembalikan dana dengan cara mencicil. Cicilan itu paling lama 10 tahun tanpa hitungan bunga. Hanya dana pokok yang dicicil mulai dari tenggang waktu tiga tahun hingga 10 tahun.

"Beliau sudah menawarkan tapi dengan dicicil sampai 10 tahun. Itu terlalu lama belum tentu orang yang punya dana tersebut masih hidup 10 tahun lagi. Dan tidak ada garansi kalau misalnya dia gagal bayar seperti apa, itu ngga ada," kata Irvan.

Namun, pada 6 Maret 2020, ada nasabah yang mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Pada saat hampir bersamaan, pihak Indosurya tidak mengakui bahwa sudah mengeluarkan memo 212 tersebut. Indosurya membatalkan memo tersebut dengan alasan sudah ada yang menggugat perdata ke PKPU.

"Jadi indosurya ini tidak konsisten, nasabah tidak lagi percaya. Apalagi sudah ada yang menggugat perdata. Akhirnya nasabah itu yang 5.700 orang itu ramai-ramai ikut di PKPU mendaftarkan tagihannya, yang akhirnya terkumpul Rp14 triliun," imbuh Agus.

Lanjut Agus, ada sebagian nasabah yang tidak mendaftarkan di PKPU karena diundang oleh Indosurya dan ditawarkan rencana damai di luar PKPU. Mereka ditawarkan diberikan ganti uang tapi dicicil dengan waktu yang lama atau ditukar dengan aset. Namun tidak ada jaminan dengan menandatangani secarik kertas. Lalu bilyet sebagai tanda bukti simpanan diminta oleh pihak Indosurya.

"Jadi satu-satunya bukti bahwa kami menyimpan dana di situ adalah bilyet. Biasanya orang kalau menyimpan deposito akan mendapatkan bilyet. Itu malah diminta bilyetnya. Dengan memberitahu nanti diganti bilyet tapi dari badan usaha yang lain. Orang yang mengerti akan menganggap bahwa ini adalah akal-akalan," terangnya.

Agus sendiri adalah kelompok yang mendaftarkan gugatan ke PKPU. Banyak nasabah yang berkelompok dan memiliki pengacara masing-masing karena mereka belum ada yang mengkoordinir.

"Kalau aliansi korban Indosurya itu di dalamnya ada kurang lebih 200 orang. Itu memberikan kuasa ke Otto Hasibuan. Banyak sekali lawyer yang mewakili 5.700 orang ini, kurang lebih ada antara sekitar 50 orang lawyer," cetusnya.

Agus juga menegaskan kalau dari Mabes Polri itu lamban. Proses penahanan ditunda, proses penyitaan aset ditunda hingga dikhawatirkan asetnya lama-kelamaan hilang dijual.

Para nasabah akan melakukan upaya turun aksi atau demonstrasi.

"Rencananya kami akan mengadakan demo tanggal 19 (19/6/2020). Sudah dapat izin untuk demo. Jadi kami tinggal koordinasi di antara kelompok nasabah ini supaya ada perwakilan. Untuk lokasi saya belum bisa untuk memberitahu karena masih dibahas," katanya. (G-2)

 

BACA JUGA: