JAKARTA - Pandemi COVID-19 telah membuat sendi perekonomian lumpuh dan mengharuskan aktivitas manusia dilakukan secara social distancing (jarak sosial) hingga muncul kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun roda ekonomi harus berputar sehingga pemerintah menetapkan kondisi New Normal agar pelaku usaha bisa memulai kegiatannya.

Bagaimana konsekuensinya bagi pelaku usaha yang usahanya terhenti di tengah jalan? Apakah keadaan tersebut termasuk force majeure atau justru terancam pailit?

Wakil Dekan 1 Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Jember Dyah Ochtorini Susanti mengatakan saat ini adalah memasuki masa transisi New Normal.

"New Normal ini wabahnya masih kita rasakan baik sisi politik, budaya, keamanan dan ketahanan serta sosial ekonomi. Pemerintah akhirnya mengajak hidup berdamai dengan protokoler," katanya dalam Webinar Nasional dengan tema Kebangkitan Usaha Bisnis di New Normal: Tantangan dan Kebijakan, pada Kamis (11/6/2020). (Video lengkap bisa disaksikan di klik di sini).

Pemerintah pun memberikan stimulus. Setidaknya ada tiga prioritas utama pemerintah yakni bidang kesehatan fokus pada penanganan COVID-19. Lalu ada jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi bagi pelaku UMKM dan pelaku Usaha.

Dyah menjelaskan dalam bidang ekonomi pemerintah menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menanggulangi permasalahan UMKM.

UMKM ini penting mengingat peran sentralnya dalam menopang perekonomian di Indonesia. Sekitar 90% tenaga kerja terserap pada sektor ini dan kontribusinya terhadap PDB sebesar 60%. Jika dirupiahkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional Indonesia pada 2018 dapat dikatakan cukup besar dengan nilai sebesar Rp8.400 triliun.

Menurut Dyah, untuk membantu UMKM dan pelaku ekonomi lainnya maka pemerintah mengeluarkan kebijakan countercyclical. Kebijakan ini ditujukan pada perbankan maupun jasa keuangan nonbank.

Inti dari kebijakan itu adalah adanya relaksasi pengaturan kualitas aset dengan plafon sampai Rp10 miliar. Lalu ada juga relaksasi pengaturan restrukturisasi kredit yang disalurkan kepada debitur terdampak COVID-19 dan berlaku setahun ke depan.

Ia menegaskan dalam kasus ini para UMKM tidak bisa membatalkan perjanjian atau kontrak antara debitur dan kreditur. "Negara tidak turut campur namun hanya mengeluarkan regulasi untuk mengatur kepentingan masyarakat," katanya.

Dyah menegaskan pandemi COVID-19 tidak dapat digunakan sebagai alasan oleh debitur untuk membatalkan kontrak dengan bank. Kebijakan pemerintah sifatnya hanya menunda bukan membatalkan. Ada beberapa mekanisme penundaan ini.

Ia menambahkan selain pemerintah pusat diperlukan juga sinergi dengan pemerintah daerah dalam mengatasi wabah ini. Pemerintah daerah punya kewenangan untuk refocusing anggaran dan membuat kebijakan yang selaras dengan kebijakan pemerintah pusat.

Beberapa pemerintah daerah pun melakukan kegiatan PSBB, mereka melakukan banyak cara untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Ada 114 kabupaten dan kota yang siap jadi daerah yang bertransisi menuju era New Normal.

Diperlukan sinergi dari pemerintah pusat, kementerian, pemerintah daerah dan masyarakat selaku pelaku usaha untuk membangkitkan kembali perekonomian akibat COVID-19.

Sementara itu dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman M Fauzi mengatakan dampak pandemi COVID-19 membuat banyak pelaku usaha yang mengalami pailit sampai kebangkrutan. Bahkan sampai mencuat kondisi force majeure pada awal pandemi untuk mendapatkan keringanan. "Namun akhirnya disepakati ini tidak termasuk kondisi force majeure," kata Fauzi.

Ia menjelaskan kalau pun dimasukkan force majeure maka sifatnya tentatif, tidak permanen sehingga pemenuhan kontraknya tidak terpengaruh.

Kondisi yang menarik adalah masalah kepailitan, saat debitur tidak mampu membayar. Namun ini tidak serta merta menyita aset yang dipunyai debitur. Justru bagaimana lembaga kepailitan bisa menjembatani debitur agar bisa membayar kreditnya.

"Saat ini semangat restrukturisasi lebih kuat dari pada pailitnya. Namun di Indonesia belum mengarah ke semangat restrukturisasi," katanya.

Sementara itu untuk force majeure adalah sebuah peristiwa yang tidak dapat perkirakan, diantiipasi maupun dihindari. Sehingga bila terjadi kondisi force majeure maka biaya kerugian dan bunga tidak dapat dibebankan kepada debitur.

"Ini tidak menghilangkan pokoknya kecuali ada perikatan dengan pokoknya, berkaitan langsung dengan objeknya. Bila hilang maka gugur juga," ujarnya.

Adakah relasinya antara force majeure dengan kepailitan? Secara umum di Indonesia tidak mempedulikan adanya force majeure, bila pailit maka bersiap saja asetnya tetap disita.

Namun dalam kondisi force majeure, sebenarnya dengan adanya lembaga kepailitan justru menjadi solusi untuk penyelesaian kasus. Jangan sampai para kreditur justru berebutan aset debitur.

Namun lembaga kepailitan ini di Indonesia tidak dapat diharapkan membantu dalam hal pemulihan ekonomi. Lantaran syarat permohonan dan mekanisme pembuktiannya sangat mudah.

Model kepailitan Indonesia, keterlibatan pemerintah sangat kecil. Semua diserahkan pada kreditur dan debitur. Termasuk tidak adanya freshstart bagi debitur. "Sepertinya tidak cocok untuk pemulihan ekonomi," katanya.

Menurutnya UU Kepailitan harus dirombak dan disesuaikan dengan kondisi terbaru, termasuk perannya untuk mendukung pemulihan ekonomi. (G-2)

 

BACA JUGA: