JAKARTA - Kritik masyarakat terhadap rancangan peraturan presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme terus bermunculan. Draf perpres telah disampaikan ke DPR, yang selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bentuk bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebelum nantinya akan disahkan atau tidak disahkan oleh presiden.

Namun kritik datang dari 78 tokoh masyarakat, sebagian besar adalah para aktivis, pegiat hukum dan HAM, para dosen perguruan tinggi dan sebagainya

"Kami menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan peraturan presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi terorisme terlalu berlebihan," kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, salah satu pendukung petisi dari koalisi masyarakat lewat keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Rabu (27/5/2020).

Menurutnya keterlibatan TNI itu akan mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri.

Koalisi menyoroti kewenangan TNI di dalam rancangan peraturan presiden yang sangat luas. Dalam rancangan ini, TNI bisa menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, serta operasi lainnya (Pasal 3 draf Perppres).

Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”. Dengan Pasal ini, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri. "Sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia," kata Usman.

Koalisi ini juga berkesimpulan pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana dimaksud dalam draf peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Koalsi meminta kepada parlemen agar mendorong pemerintah untuk memperbaiki draf peraturan presiden itu secara lebih baik dan benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan.

Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme karena jika hal itu tidak dibuat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia.

Direktur Imparsial Al Araf yang juga anggota Koalisi menjelaskan secara konseptual, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43 UU nomer 5 tahun 2018), yang kewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. "Berbeda halnya dengan rancangan perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan," katanya.

Menurutnya pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga.

Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum.

Rancangan perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia. Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.

Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum.

Pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9 draft Perppres) akan merusak mekanisme criminal justice system.

Ia menambahkan dengan adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri (bukan perbantuan) untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya. Yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri. Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara.

Ia juga meyoroti penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Rancangan Perpres bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI.

Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan), sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI.

Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki masalah akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru bagi pemerintah daerah.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini bertentangan dengan UU 34/2004 tentang TNI. Dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI).

Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR (penjelasan Pasal 5 UU TNI)

Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. Itu artinya secara hukum perpres ini nanti akan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI itu sendiri karena telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara presiden dan DPR. (G-2)

BACA JUGA: