JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme telah dikirim Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly ke DPR pada 4 Mei 2020.

Rancangan perpres yang tetap diajukan semasa pandemi COVID-19 itu menuai kritikan dari masyarakat sipil, sebab mengancam supremasi konstitusi, merusak integritas hukum nasional, dan mengancam kebebasan masyarakat sipil.

Ketua Setara Institute Hendardi menilai rancangan perpres itu banyak keluar jalur.

"DPR dan Presiden Jokowi harus menolak Rancangan Perpres ini, apalagi dibahas di tengah Pandemi COVID-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat. Memaksa mengesahkan rancangan perpres dengan rumusan sebagaimana draf yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar undang-undang dan konstitusi," kata Hendardi dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (11/5).

Menurutnya, rancangan perpres tersebut merupakan mandat untuk memperoleh persetujuan DPR, yakni Pasal 43I ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme.

Intinya menyebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam perpres.

Ia menekankan penyusunan rancangan perpres tersebut tidak boleh melampaui ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 43I UU Pemberantasan Terorisme.

Atas dasar itu, Hendardi menyatakan rancangan perpres seharusnya disusun pemerintah untuk menerjemahkan mandat delegasi dari Pasal 43I UU Pemberantasan Terorisme adalah menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri.

Selain itu akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme juga perlu diatur karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum.

"Di luar lingkup di atas, rancangan perpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum," tegasnya.

Namun, Hendardi menilai rancangan Perpres yang disusun pemerintah justru keluar jalur, dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I UU Pemberantasan Terorisme. Bahkan, rancangan peraturan tersebut dinilai melanggar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 34/2004 tentang TNI.

Menurutnya, rancangan perpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system.

Rancangan itu juga memberikan ruang pemberantasan terorisme dengan menggunakan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah.

Draf perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

Menurut Hendardi, draf perpres ini juga berpotensi menyabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri.

Sebagai gambaran, Hendardi mengatakan, salah satu tugas TNI yang dalam rancangan perpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial.

Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menolak Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme untuk dibahas lebih lanjut di DPR.

Aturan tersebut dinilai dapat mengancam Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara, TNI tak tunduk kepada peradilan umum meski bergerak di ranah penegakan hukum terorisme.

Koalisi itu terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti KontraS, Imparsial, Elsam, YLBHI, Amnesti Internasional Indonesia (AII), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, LBH Masyarakat, dan lainnya.

Sebelumnya Komnas HAM juga meminta Presiden Joko Widodo tak meneken perpres soal pelibatan TNI dalam memberantas terorisme. Hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam beberapa waktu lalu.

Ia mengaku telah mendapatkan draf perpres pelibatan TNI tersebut. Setelah membacanya, ia menilai banyak penyimpangan di dalamnya. Karenanya ia berencana menyurati presiden untuk menolak perpres tersebut diteken.

Anam mengungkapkan, hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 draf Perpres tersebut yang menyatakan tugas TNI dalam pemberantasan terorisme dimulai dari penangkalan atau pencegahan, penindakan, hingga pemulihan. Padahal semestinya TNI hanya dilibatkan pada penindakan dengan skala ancaman tertentu.

Ia menyatakan, negara sudah memiliki organ khusus untuk pencegahan dan pemulihan yakni melalui Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Semestinya perpres yang akan diteken ini hanya memuat skala penanganan di mana TNI dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme melalui pasukan khususnya. (G-2)

BACA JUGA: