JAKARTA - Pandemi COVID-19 masih belum mereda, jumlah kasusnya terus bertambah. Dampak ekonomi akibat virus itu tak terbendung lagi dan bisa dipastikan dunia akan mengalami resesi ekonomi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan baik dari segi korban positif maupun dari kedalaman resesi ekonomi memang cukup gawat. Data dari Bloomberg sudah bilang bahwa 100% tanda resesi terjadi lagi, seperti pada 1998/2001 dan 2008.

"Jadi indikator-indikator kemungkinan terjadinya resesi itu berulang. Ini sekarang terjadinya tahun 2020. Jadi seratus persen sudah pasti akan terjadi resesi dalam 12 bulan ke depan," kata Bhima dalam diskusi daring yang digelar Kode Inisiatif dan Fakultas Hukum President University bertema Konstitusionalitas Perppu Corona, yang diikuti Gresnews.com,  Selasa (14/4).

Bhima mengutip World Trade Organization bahwa kondisi sekarang akibat COVID-19 ditambah adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China sama artinya kembali ke 1930-an. Indikatornya adalah terjadinya penurunan volume perdagangan sebesar 32%.

"Kira-kira ini bentuk recovery-nya mau model seperti apa? Ini ada tiga model," tambahnya.

Pertama, model bentuk V, artinya cepat sekali dia akan pulih. Lalu huruf U, pemulihannya sangat landai, mungkin butuh waktu tiga sampai lima tahun. Paling repot adalah berbentuk L, artinya pemulihannya berjalan lebih lambat lagi.

"Nah kita sekarang pilihannya V sama U. Kalau misalkan bentuk V artinya butuh penanganan COVID-19 yang lebih cepat. Karena penanganan COVID-19 kita yang nggak jelas membuat investor ragu. Jadi itu sudah ada pernyataan resmi dari Moody`s," kata Bhima.

Dalam laporan terbarunya, Moody`s Investors Service memprediksi tingkat gagal bayar global akan meningkat menjadi 10,6% pada akhir 2020 dan kemudian sedikit naik menjadi 11,3% pada akhir Maret 2021, dari level 3,5% pada Maret 2020.

Menurut lembaga pemeringkat utang internasional tersebut, prediksi itu didorong oleh perkiraan terjadinya resesi di banyak negara di tengah gejolak dalam pasar finansial yang disebabkan oleh tiga guncangan pada bulan Maret.

"Pertama, virus korona muncul sebagai pandemi, menyebar dengan lebih luas dan cepat dari yang diperkirakan sebelumnya, merupakan ancaman besar terhadap ekonomi global," tulis Moody`s.

Kedua, harga minyak anjlok hingga ke kisaran level US$20 dan menandai level terendahnya dalam dua dekade terakhir.

Ketiga, kondisi keuangan yang sangat ketat karena harga-harga aset turun tajam, baik pada pasar ekuitas maupun fixed income market.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan skenario terberat yang akan dihadapi ekonomi Indonesia, akibat dampak dari COVID-19. Berbicara usai sidang kabinet paripurna, Selasa (14/4), Sri Mulyani mengemukakan, keberadaan COVID-19 bukan tidak mungkin akan menyebabkan perekonomian dunia menuju jurang resesi.

"Ekonomi global kemungkinan masuk di dalam resesi. Proyeksi IMF ekonomi diperkirakan tumbuh 3,3% (tahun ini), direvisi menjadi negatif. Koreksi bisa minus 2,2%. Atau berdasarkan Fitch Rating Agency, tahun ini mungkin ada di kisaran minus 1,9%," katanya.

Kondisi ini membuat dunia kehilangan potensi ekonomi yang seharusnya tercipta sekitar US$5 triliun, hampir setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang.

Berdasarkan hasil penghitungan pemerintah, situasi ini akan membuat angka kemiskinan di Indonesia meningkat 1,1 juta orang. Bahkan dalam skenario terberat, bukan tidak mungkin jumlah orang miskin bertambah hingga 3,78 juta orang.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sambung Sri Mulyani, akan tertekan. Pemerintah melihat, kuartal II-2020 akan menjadi siklus paling berat di tahun ini karena kemungkinan pertumbuhan ekonomi bisa anjlok.

"Ekonomi bisa turun 0,3% hampir mendekati nol atau bahkan negatif growth di minus 2,6%. Dan untuk kuartal ketiga akan ada recovery di 1,5% dan 2,8%. Kalau kita kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB bisa negatif," ujarnya.

(G-2)

BACA JUGA: