JAKARTA - Aturan hukum Indonesia terlalu rumit, tumpang tindih, birokratis, dan kurang konsisten dalam pelaksanaannya. Padahal, aturan hukum tersebut diharapkan dapat menciptakan keadilan dan ketertiban yang merupakan syarat untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Namun, dalam kenyataannya, sering kali aturan hukum itu sendiri yang membatasi perkembangan masyarakat. 

"Salah satu tantangan terbesar yang ada di hadapan mata kita adalah permasalahan kompleksitas aturan hukum di Indonesia. Hal itu sudah menjadi pembahasan sejak lama untuk ditemukan solusinya," kata Managing Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Bono Daru Adji kepada Gresnews.com, Kamis (5/3), seusai memberikan sambutan dalam acara AHP Business Law Forum 2020 di Jakarta.

Bono mencontohkan masalah banyaknya jumlah perizinan yang harus diperoleh untuk satu jenis usaha. Terlalu banyak keterlibatan instansi pemerintah yang berwenang untuk mengeluarkan segala jenis izin. "Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan merupakan masalah besar bangsa ini sejak puluhan tahun yang lalu," katanya.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencari solusi terbaik, mulai dari penerbitan paket kebijakan sampai perubahan sistem perizinan yang sebelumnya bersifat sporadis dan manual menjadi sistem yang terpadu dan terintegrasi melalui Online Single Submission (OSS). Namun, menurut dia, upaya pemerintah tersebut perlu terus dipertajam dengan melakukan terobosan-terobosan lain. Dia menyebut dua hal: RUU Cipta Kerja serta aturan tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian. Keduanya disusun dengan metode omnibus law.

"Tantangan yang lebih besar kami perkirakan akan ditemukan dalam proses implementasi. Pemerintah tentu saja punya tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kedua RUU tersebut bisa benar-benar membawa perubahan yang baik bagi bangsa Indonesia. Mempertemukan kepentingan dunia usaha, perlindungan masyarakat, dan kesejahteraan pekerjanya," kata Bono.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Bono menyatakan, kemudahan berusaha bagi para pelaku dunia usaha harus diikuti dengan rambu-rambu yang memadai, agar kepentingan masyarakat, pekerja, dan lingkungan hidup tidak dikorbankan. Omnibus Law, kata dia, adalah salah satu kunci perubahan menuju Indonesia yang dicita-citakan.

"Kami selalu percaya bahwa hukum yang kuat, tidak harus rumit. Hukum yang bersih dan penegakan hukum yang berwibawa adalah faktor penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai tempat yang nyaman bagi iklim usaha dan penanaman modal asing," kata Bono.

Hentikan Pembahasan
Sementara itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan dan menarik kembali RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan kepada DPR pada 12 Februari 2020. Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman menyatakan melalui RUU Cipta Kerja, negara/pemerintah seolah-olah menjadi agen bagi kalangan bisnis yang dengan kewenangannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memberikan keistimewaan dan fasilitas-fasilitas yang menguntungkan kalangan bisnis.

"RUU Cipta Kerja berpotensi untuk melanggar dan membatasi hak-hak konstitusional warga negara, pekerja/buruh, pekerja/buruh perempuan, masyarakat adat, merusak lingkungan hidup dan sumber daya alam Indonesia dan melanggengkan konflik agraria," kata Wahyu kepada Gresnews.com melalui surat elektronik.

Tiga hal menjadi sorotan ELSAM: 1) RUU Cipta Kerja akan menghapus/menghilangkan hak pekerja seperti cuti khusus/izin; 2) RUU Cipta Kerja berpotensi mengarah pada ketimpangan penguasaan lahan dan konflik agraria; 3) RUU Cipta Kerja berpotensi melemahkan eksistensi dan penegakan hukum lingkungan.
 

(G-2)

 

BACA JUGA: