JAKARTA - Persoalan utama Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja/Omnibus Law) yang tengah ramai diperdebatkan saat ini adalah proses pembentukannya yang tidak aspiratif, lantaran tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat, dan isinya yang terkesan asal comot tanpa ada kejelasan konsep dan tujuan keadilan yang mau dicapai. 

"Sepertinya presiden (Joko Widodo) ini pasang target mau serba cepat yang malah akhirnya banyak salah-salah. Salah-salah itu sendiri pun masih misterius. (Apakah) sebetulnya itu yang dimaui atau salah ketik," kata Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad kepada Gresnews.com, seusai acara diskusi di Kantor KAHMI Center, Jakarta, Rabu (19/2) sore.

Salah ketik yang dimaksud adalah Pasal 170 ayat (1) RUU Cipta Kerja yang berbunyi: "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."

Pasal 170 ayat (2) berbunyi: "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Suparji mengatakan RUU Cipta Kerja semacam itu tidak akan bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Formulasi tentang cipta kerja itu sendiri belum secara jelas, hanya mengambil dari undang-undang lain, termasuk UU Jaminan Produk Halal, UU Pers, dan sebagainya. "Ini menurut saya juga pola yang tidak komprehensif," katanya..

Dari kacamata hukum, RUU Cipta Kerja tidak menunjukkan adanya keadilan dan dari perspektif ekonomi kerakyatan tidak ada korelasinya. "Karena apa? Ini keadilan buat siapa? Kalau memang arus besarnya mengakomodir pengusaha yang mengeluh karena buruh terlalu banyak haknya, kewajibannya diabaikan sehingga pesangonnya, proses hukumnya panjang dan sebagainya. Mestinya kan keadilan pada sisi rakyat kecil, termasuk buruh-buruh. Makanya dalam perspektif ekonomi kerakyatan malah nggak nyambung," ujarnya.

Suparji berpendapat RUU Cipta Kerja diuji lagi secara komprehensif dan ia juga berharap pada sensitivitas DPR untuk membahas RUU Cipta Kerja dengan melibatkan aspirasi seluruh elemen masyarakat.

"Maka saya berharap civil society bergerak dengan baik, dengan sistematis, didukung oleh media menyuarakan potensi-potensi yang akan terjadi di masa yang akan datang," kata Suparji.

Sementara itu Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Baedowi (Fraksi PPP) mengatakan draf RUU Cipta Kerja masih dipegang oleh pimpinan Baleg, belum diserahkan kepada Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan fraksi. Apakah draf yang beredar di masyarakat itu yang resmi? "Paling tidak saya katakan itulah yang mendekati resminya," kata Baedowi kepada Gresnews.com

Ia mengakui banyak hal dalam RUU Cipta Kerja yang perlu dikritisi. Contohnya mengenai pengupahan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah. "Itu tidak fair. Karena daerah yang minus APBD-nya, pertumbuhan ekonominya minus maka upahnya bisa minus juga. Maka tetap saja kalau upah buruh, pekerja itu disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi nasional," kata Baedowi.

Selain itu, tentang kemudahan bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk berbisnis start-up. Padahal, bisnis start-up ini seharusnya memberikan kesempatan kepada pekerja lokal dan nasional untuk berkembang. "Kalau WNA-nya diberikan kemudahan, bagaimana dengan talent-talent lokal kita, kan seperti dihambat, diberikan pesaing. Kan tidak fair," katanya.

Kata Baedowi, masalah itu juga berhubungan dengan karyawan kontrak (outsourcing). "Tidak ada pembatasan bagaimana itu outsourcing sehingga bisa jadi pekerjaan inti yang harusnya dilakukan oleh tenaga tetap, itu bisa dikerjakan oleh outsourcing. (Seharusnya) nggak bisa seperti itu," tandasnya. 

(G-2)

BACA JUGA: