JAKARTA - Pemerintah diminta untuk segera membatalkan rencana revisi keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba) karena isinya bertentangan dengan amanat UUD 1945 dan melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Revisi PP Minerba tersebut secara khusus akan memberi kesempatan adanya perpanjangan kontrak bagi delapan perusahaan pertambangan pemegang kontrak Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B), salah satunya adalah PT Adaro Energy Tbk. (ADRO), yang juga dimiliki oleh Garibaldi (Boy) Thohir, kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menegaskan bila revisi PP Minerba tersebut dilanjutkan, jelas akan merugikan keuangan negara, merampok hak rakyat, serta patut diduga sarat dengan dugaan tindak pidana korupsi. Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk membatalkan rencana pembahasan revisi UU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CLK) sektor minerba yang isinya merujuk pada hasil revisi keenam PP Minerba. "Jika rencana ini tetap dilanjutkan maka rakyat perlu melawan, termasuk menuntut agar Presiden Jokowi diproses menuju pemakzulan sesuai Pasal 7 UUD 1945," kata Marwan kepada Gresnews.com, Selasa (11/2).

IRESS memandang bahwa draf revisi PP Minerba bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar sumber daya alam (SDA) dikuasai negara dan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pengelolaannya harus dijalankan oleh BUMN dan BUMD. Tujuannya adalah agar negara mendapat manfaat dari pengelolaan SDA minerba bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika revisi PP Minerba tetap terjadi maka manfaat bagi kemakmuran rakyat berkurang dan pihak yang paling diuntungkan adalah para kontraktor tambang KK dan PKP2B, yang selama puluhan tahun telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari kekayaan rakyat tersebut.

Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang dimotori oleh Menteri Ignatius Jonan, pertama kali menggagas revisi keenam PP Minerba pada November 2018, setelah gagal menuntaskan pembahasan revisi UU Minerba pada April 2018. Karena besarnya penolakan LSM dan publik, revisi keenam PP Minerba batal ditetapkan. Setelah itu, DPR dan pemerintah pada akhir September 2019 mencoba menyelundupkan RUU Revisi UU Minerba bersamaan dengan penetapan RUU KPK, RUU KUHP,  RUU Pertanahan dan RUU Permasyarakatan untuk disahkan Presiden Jokowi. Karena penolakan para demonstran, terutama mahasiswa, pelajar STM dan masyarakat, akhirnya keempat RUU tersebut batal ditetapkan, kecuali UU KPK.

Setelah pelantikan Presiden dan DPR 2019-2024, RUU Revisi UU Minerba kembali diintensifkan pemerintah, bersamaan dengan rencana revisi keenam PP Minerba dan RUU Omnibus Law CLK. Rencana-rencana perubahan telah disinggung Presiden Jokowi pada pelantikan 20 Oktober 2019 dan oleh DPR pada penetapan 50 RUU Prolegnas Perirotas 2020 dalam Sidang Paripurna 22 Januari 2020.

Salah satu pernyataan Presiden yang patut dicatat, penetapan RUU Omnibus Law dan RUU Revisi UU Minerba penting dan mendesak ditetapkan guna menggalakkan investasi, memberi kepastian hukum dan percepatan pertumbuhan ekonomi. "Namun di balik itu, tampaknya tersembunyi agenda yang pro-oligarki," ujar Marwan.

Sesuai rencana Presiden dan DPR di atas, pemerintah di bawah koordinasi Menko Preekonomian Airlangga Hartarto, secara khusus memberi kesempatan kepada pihak terkait untuk membahas perpanjangan PKP2B (berbentuk izin usaha pertambangan khusus, IUPK) melalui “kluster kemudahan berusaha” dalam RUU Omnibus Law CLK.

Sejalan dengan rencana itu, pemerintah melalui Menteri ESDM Arifin Tasrif  telah meminta agar ketentuan dalam RUU Omnibus Law CLK disesuaikan dengan revisi keenam PP Minerba. Permintaan Menteri ESDM Arifin itu disampaikan kepada Menko Perekonomian Airlangga pada 9 Desember 2019.

Kampanye Kementerian ESDM untuk memberlakukan revisi keenam PP Minerba memang telah menjadi fokus pemerintah dalam tiga bulan terakhir. Ketentuan dalam PP telah ditetapkan lebih dulu, tidak peduli isinya bertentangan  dengan konstitusi atau UU. Hal itu terlihat dari Direktorat Jenderal Minerba KESDM yang terlalu bersemangat menjelaskan isi PP kepada DPR dan berbagai pihak, termasuk LSM, akademisi dan pegiat demokrasi tentang mendesak dan perlunya revisi keenam PP Minerba, tanpa mempedulikan apakah itu sudah sesuai dengan UUD 45 dan atau amanat MK tentang wajibnya melibatkan BUMN dalam pengelolaan SDA minerba.

Demi kepentingan oligarkis, segala upaya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Minerba, tidak peduli apakah itu merugikan negara dan rakyat, dan bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Dalam presentasi kepada sejumlah pakar, asosiasi profesi sektor pertambangan dan LSM, termasuk IRESS, pada 3 Februari 2020, Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono menjelaskan pentingnya memberi perpanjangan operasi (berbentuk IUPK) kepada kontraktor PKP2B dan KK yang kontraknya akan berakhir beberapa tahun ke depan.

Terlihat seakan-akan Bambang Gatot menggiring peserta untuk menerima perpanjangan kontrak (berbentuk IUPK) PKP2B dengan menyatakan antara lain: 1) Perpanjangan PKP2B merupakan komitmen pemerintah dan merupakan hak perusahaan; 2) IUPK perpanjangan PKP2B berbeda dengan IUPK dari WPN dalam hal izin, penerimaan negara, luas wilayah dan pengaturan; 3) luas wilayah yang akan diberikan kepada kontraktor PKP2B sesuai kondisi eksisting (RKSW) lebih bermanfaat dibanding luas wilayah diberikan maksimal 15.000 ha; 4) dana hasil produksi batu bara (DHPB) yang diterima negara dari perpanjangan PKP2B akan lebih besar. 

"Argumentasi tersebut jelas melawan kehendak UUD 1945 serta tugas dan fungsi pemerintah mengelola dan memanfaatkan SDA untuk kepentingan rakyat melalui BUMN," ujarnya.

Presentasi Dirjen Minerba hanya menampilkan keunggulan pengelolaan oleh kontraktor PKP2B. Dirjen Minerba seakan-akan ingin mengatakan bahwa negara akan mengalami rugi besar jika BUMN yang mengelola SDA minerba tersebut. Padahal, justru dengan dikelola oleh BUMN, negara dan rakyat akan mendapat penerimaan terbesar.

"Terlihat sekali pemerintah berpihak kepada segelintir kontraktor PKP2B, namun pada saat yang sama nekat melanggar konstitusi, undang-undang dan hak rakyat, sekaligus pula intensif menyebar informasi yang berat sebelah dan cenderung mengandung kebohongan publik," ungkapnya.

(G-2)

BACA JUGA: