JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law CLK) menjadi sorotan masyarakat bukan hanya karena proses penyusunannya saja melainkan juga karena peraturan itu terkait dengan perbaikan kualitas lingkungan, salah satunya adalah pada munculnya rencana meniadakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Pendiri Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) Mas Achmad Santosa menggarisbawahi bahwa kualitas demokrasi dan kualitas lingkungan hidup tidak bisa ditoleransi. Konstitusi menegaskan bahwa pembangunan harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. "Pemerintah perlu untuk tidak ragu-ragu bahwa kita harus menyeimbangkan kepentingan investasi dengan perlindungan lingkungan hidup," kata Ota--sapaannya--dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Gresnews.com, Jumat (31/1).

Menurut Ota, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) telah menegaskan instrumen-instrumen apa saja yang dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. "Di negara-negara lain, instrumen lingkungan hidup tidak dikecilkan," kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2009 itu.

Berhubungan dengan permasalahan birokrasi perizinan yang hendak diselesaikan dan dianggap sebagai masalah terberat, Ota berpendapat sejak awal penyusun Omnibus Law CLK perlu menjelaskan secara rinci kepada publik, bagaimana mekanisme untuk mengatasi masalah birokrasi ini.

"Siapa yang menerbitkan izin? Jika BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) lalu yang mengawasi kepatuhan lingkungan hidup adalah KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), apakah KLHK bisa memberikan sanksi administratif hingga mencabut izin jika ia bukan yang menerbitkan izin? Hal detail seperti ini harus sudah dijelaskan sejak dini dalam penyusunan," ujarnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian memberikan pandangan dari aspek ilmu ekonomi bahwa ketika aktivitas atau kebijakan ekonomi tidak ramah lingkungan, yang dirugikan tidak hanya lingkungan tetapi juga masyarakat.

"Ekonomi itu terkait dengan menghargai sesuatu. Permasalahan basic dalam lingkungan adalah tragedy of commons. Ada barang-barang yang tidak perlu dibayar padahal sangat penting, seperti udara dan air. Namun, ketika rusak, kita harus membayar. Misalnya, akibat udara tercemar saya harus membayar biaya rumah sakit untuk penyembuhan infeksi saluran pernapasan," ujar Dzulfian.

Menurutnya, omnibus law kontraproduktif dengan upaya menarik investasi, dilihat dari proses penyusunan yang tidak transparan. Justru hal yang paling menjadi catatan investor yang hendak berinvestasi di Indonesia adalah aspek transparansi dan penegakan hukum yang jelas.

"Untuk menentukan produk kebijakan yang tepat untuk mempercepat investasi, harus ditanya kembali investasi yang seperti apa yang diundang, yang pro-lingkungan atau yang biasa-biasa saja?" ungkapnya.

Asisten Deputi bidang Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Dida Gardera menjelaskan Omnibus Law CLK tidak mendikotomikan antara kepentingan lingkungan hidup dan investasi. Ia menepis rumor AMDAL hendak dihapus.

"Kita hendak mengembalikan fungsi AMDAL ke khitahnya, yaitu menjadi syarat untuk mendapatkan izin usaha, bukan izin lingkungan. Satu-satunya AMDAL yang dibungkus dalam izin hanya di Indonesia. Di Indonesia saat ini birokrasinya bermasalah," jelasnya.

Ia menegaskan aspek yang hendak diperbaiki dalam omnibus law adalah masalah birokrasi dan proses penerbitan izin, bukan menoleransi standar lingkungan hidup dan peran masyarakat. (G-2)

BACA JUGA: