JAKARTA - Tjahjo Kumolo kini mendapatkan tugas baru dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kabinet Indonesia Maju. Bila sebelumnya dia merupakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), kini Tjahjo duduk di posisi baru sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal itu diumumkan Jokowi di beranda Istana Merdeka, Rabu (23/10). Tjahjo yang tadinya duduk lesehan bersama calon menteri lainnya, berdiri ketika namanya dipanggil.

Tugas yang menantinya adalah melakukan penyederhanaan pejabat eselon. Presiden Jokowi menilai jumlah pejabat eselon harus disederhanakan. Saat ini terdapat eselon I, eselon II, eselon III, dan eselon IV. Presiden dua periode itu menilai jumlah eselon saat ini terlalu banyak. Dia pun meminta jumlah eselon yang mencapai empat level itu disederhanakan menjadi dua saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan menghargai kompetensi.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan memangkas jabatan eselon perlu kajian yang matang. Paling baik sampaikan lebih dahulu grand design reformasi birokrasinya seperti apa wujud dan roadmap-nya. "Baru kemudian diikuti langkah teknisnya," kata Mardani kepada Gresnews.com, Rabu (23/10).

Ia menjelaskan reformasi dalam tubuh birokrasi mesti dilakukan. Namun penyebutan pemangkasan eselon bisa menimbulkan gejolak internal yang tidak perlu. Jangan sampai terjadi resistensi hanya karena sepotong aksi reformasi birokrasi yang disampaikan.

Tjahjo adalah politikus senior dan piawai dalam menangani berbagai persoalan. Ia mampu menangani kisruh pengesahan APBD DKI 2015 yang nyaris deadlock gara-gara cekcok antara Gubernur DKI Jakarta saat dipegang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan DPRD DKI Jakarta.

Kebijakan Tjahjo saat menjadi Mendagri lainnya yang juga sangat progresif adalah melakukan pengawasan terhadap dana bantuan sosial (bansos) dalam APBD daerah. Hal ini lantaran dana tersebut sering dijadikan Kepala Daerah sebagai amunisi untuk merawat konstituen agar terpilih kembali pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) berikutnya.

Dalam kasus kerusuhan Tolikara, Tjahjo berpikir lebih strategis dengan mencari akar permasalahannya. Kemendagri kemudian menemukan adanya Perda Tolikara yang memasung kebebasan beribadah bagi penganut agama lain. Perda tersebut, menurut Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo, merupakan usulan dari Presiden Gereja Injili di Indonesia, Dorman Wandikmo, kepada Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo.

Kemudian, usulan tersebut dibahas Bupati bersama DPRD dan disahkan. Soedarmo mengatakan, Bupati mengakomodir usulan GIDI karena juga merupakan anggota GIDI. Ia menyebut GIDI sangat dominan di Tolikara. Perda tersebut kemudian dijadikan dasar hukum bagi GIDI untuk menerbitkan surat edaran pada 11 Juli 2015 lalu. Isi surat edaran tersebut melarang pelaksanaan ibadah salat Idul Fitri di Tolikara dan umat Islam menggunakan jilbab. Surat ini diduga menjadi penyebab ricuh di Tolikara saat Idul Fitri lalu.

Hal yang juga mengejutkan, Perda yang telah disahkan sejak tahun 2013 tersebut tak pernah sampai ke pemerintah pusat. Padahal, setiap Perda harus ditembuskan ke Kemendagri untuk kemudian diverifikasi. Perda yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya, melanggar hak asasi manusia dan Pancasila itu ternyata secara de facto sudah berlaku di Tolikara. (G-2)

BACA JUGA: