JAKARTA – Ratusan ribu hektare hutan dan lahan telah terbakar tahun ini. Penyebabnya mirip dengan yang terjadi pada empat tahun lalu, yakni lahan gambut yang tak lagi sesuai kodratnya menjadi kering kerontang.

“Kembalikan gambut sebagaimana kodratnya, yaitu basah, berair dan berawa,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Selasa (1/10).

Luas hutan dan lahan terbakar dari awal tahun hingga Agustus 2019 lalu mencapai 328.724 hektare. Karhutla didominasi oleh kebakaran di lahan mineral sejumlah 239.161 ha dan gambut 89.563 ha. 

Doni menyampaikan gambut memiliki hak asasi ekosistemnya sehingga karthula dapat dicegah atau dikurangi. Gambut yang sudah kering akan sangat sulit dipadamkan ketika sudah ada api. Karakter gambut yang bersifat kering dan memiliki kedalaman beragam bahkan hingga 30 meter tentu akan sulit dipadamkan oleh personel darat, pengemboman air bahkan dengan hujan buatan (TMC).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa luas karhutla terbesar terjadi di Nusa Tenggara Timur. Doni menjelaskan bahwa kebakaran di wilayah itu berbeda dengan enam provinsi lainnya. Kebakaran di Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi, Riau, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Selatan (Kalsel) terjadi di lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan dan memicu terjadinya asap. 

Data citra satelit modis-catalog Lapan dalam 24 jam terakhir mencatat 697 titik panas terjadi di wilayah Sumsel, Jambi, Riau, Kalbar, Kalteng dan Kalsel. Rincian titik panas sebagai berikut, Kalsel 148 titik, Sumsel 106, Kalteng 65 dan Jambi 46. Wilayah Riau dan Kalbar tidak terdeteksi titik panas.

Hingga kini, 29.039 personel masih beroperasi untuk melakukan pemadaman dan pendinginan, sedangkan 45 helikopter dikerahkan untuk pengemboman air dan patrol. Sementara itu, lebih dari 228 ton garam disemai selama TMC dengan memanfaatkan pesawat dukungan BPPT dan TNI. (G-2)

BACA JUGA: