JAKARTA - Hingga 17 hari menjelang pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), Kementerian Agama (Kemenag) belum juga menerbitkan peraturan pelaksanaan UU JPH. Sebagaimana ketentuan Pasal 67 UU JPH, kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku lima tahun terhitung sejak UU ini diundangkan yang jatuh pada 17 Oktober 2019.

Lambatnya penerbitan peraturan pelaksanaan UU JPH telah terjadi pada Peraturan Pemerintah yang baru terbit pada 29 April 2019, padahal seharusnya sudah ada sejak 2016. Keterlambatan tersebut mempengaruhi peraturan pelaksanaan yang lebih rendah yakni Peraturan Menteri Agama (Permenag) yang belum ada hingga saat ini.

Dihubungi melalui sambungan telepon, Wakil Ketua Halal Institute H. SJ Arifin menilai keterlambatan menunjukkan ketidakprofesionalan pemerintah dalam bekerja, jika tidak mau disebut sebagai pengabaian. "Ini kan sangat mendesak. Masyarakat dan terutama pelaku usaha butuh pedoman teknis bagaimana mengurus sertifikat halal itu," jelas Arifin kepada Gresnews.com, Senin (30/9).

Arifin juga menilai keterlambatan Permenag itu akan sangat mengganggu kinerja BPJPH selaku penyelenggara jaminan produk halal. "Permenag itu pedoman pembuatan peraturan-peraturan di bawahnya, ada SOP (Standar Operasional Prosedur), ada juknis-juknis (petunjuk teknis). Saya kira cukup banyak peraturan turunan yang harus disiapkan dan itu pasti butuh waktu. Bagaimana bisa diselesaikan kalau sampai saat ini pun belum ada Permenag-nya?” sambungnya.

Jika Permenag belum juga siap hingga 17 Oktober 2019 dapat dipastikan pelaksanaan UU JPH akan berantakan dan pemerintah dianggap gagal menyelenggarakan undang-undang. "Selain Permenag, ada juga itu peraturan tentang tarif sertifikat halal yang mestinya kewenangan menteri keuangan. Itu juga harus siap sebelum kick-off UU JPH. Jika pemerintah tidak mau dianggap gagal atau tidak mampu ya semua harus dikebut," pungkas Arifin. (G-2)

BACA JUGA: