JAKARTA - Pernah mendengar istilah “kencing minyak”? Sebuah aktivitas mengurangi muatan minyak demi keuntungan pribadi bagi supir maupun pelaku di belakangnya. Tentu saja aktivitas “kencing minyak” itu ilegal. Kejadian ini pun ternyata berlangsung dari hulu ketika impor dilakukan Petral/PES yang disebut susut minyak mentah dan produk alias losses kendati tidak bisa dibilang sebuah kesengajaan namun setidaknya telah menimbulkan kerugian karena melebihi toleransi yang ditetapkan.

Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang Pemeriksaan Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang pada PT Pertamina (Persero) dan Petral/PES Tahun 2012, 2013, dan 2014 (Semester 1) di Jakarta, Batam, Cilacap, Surabaya, Singapura, Hongkong, Aljazair, dan Dubai, tanggal 13 Januari 2015, menunjukkan Pertamina belum optimal mengawasi penerimaan Minyak Mentah dan Produk Kilang sehingga terjadi selisih penerimaan kurang yang melebihi toleransi senilai US$104.923.688,99.

"Pertamina belum mengoptimalkan sistem pengendalian losses dan klaim secara terintegrasi di dalam sistem informasi Pertamina," ungkap dokumen BPK yang diperoleh Gresnews.com. Jumat (19/9).

Pedoman Pertamina No A-001/H10200/2007-S4 tentang Penanganan dan Pengawasan Susut Minyak Mentah dan Produk, terdapat perhitungan susut angkutan air yang dilakukan pada beberapa titik yaitu:

a. R1 dimana terjadi selisih antara angka darat Bill of Ladding (B/L) dengan angka kapal setelah muat (Ship’s Figure After Loading/SFAL) di pelabuhan muat dengan toleransi sebesar 0.30%;

b. R2 dimana terjadi selisih antara angka kapal sesudah muat (SFAL) di pelabuhan muat dengan angka kapal sebelum bongkar (Ship’s Figure Before Discharge/SFBD) di pelabuhan bongkar dengan toleransi sebesar 0.15%;

c. R3 dimana terjadi selisih antara angka kapal sebelum bongkar (SFBD) di pelabuhan bongkar dengan angka penerimaan aktual di tangki darat (Actual Receipt/AR) dengan toleransi sebesar 0.30%;

d. R4 dimana terjadi selisih antara angka B/L dengan angka penerimaan aktual di tangki darat (AR) dengan toleransi sebesar 0.30% untuk penerimaan Domestik dan 0.50% untuk penerimaan Impor

Penyebab lainnya yang terungkap dalam dokumen tersebut adalah, Pertamina kurang dapat melakukan pembuktian atas perhitungan selisih terima di titik serah loading port karena belum memiliki sistem pengukuran yang lebih akurat di kapal pengangkut. Kemudian Pertamina belum optimal dalam melakukan penggantian alat ukur di instalasi penerima yang manual dengan alat ukur yang lebih akurat (ATG dan Metering).

Lainnya, Pertamina belum optimal melakukan upaya untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan para pekerja di terminal bongkar serta Pertamina belum menetapkan tolerable loss yang semakin rendah.

BPK juga menyebut setidaknya terjadinya losses di pelabuhan pengirim (loading port) dapat disebabkan karena tiga faktor utama. Yaitu pertama, kontrak jual beli yang lemah di sisi Pertamina. Lalu adanya keterbatasan akses ke loading port untuk pemeriksaan atas terjadinya discrepancy penerimaan sehingga Pertamina tidak memiliki keyakinan yang memadai atas volume yang dimuat di kapal. Ketiga, kesalahan karena faktor human error yang erat kaitannya dengan faktor kesengajaan.

Dalam hasil audit tersebut Pertamina menyetujui temuan tersebut. Selanjutnya Pertamina menjelaskan telah melakukan upaya-upaya dalam penanggulangan losses. Yakni evaluasi performance losses kapal-kapal impor, evaluasi R3 depot-depot utama penerima kargo impor, research settling free water untuk semua jenis minyak mentah, sosialisasi 46 Pedoman SK 18 dan TKO ROB OBQ, proaktif menyampaikan pedoman teknis khususnya discrepancy kepada SKK Migas, pemasangan CCTV di kapal charter/milik Pertamina secara bertahap dan adanya BTP minimize losses yang akan diimplementasikan dan sudah mendapatkan persetujuan dari Direksi Pertamina.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman menegaskan Pertamina telah melakukan transformasi melaksanakan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas. "Ini memang sejalan dengan peran aktif Pertamina dalam memperbaiki tata kelola perusahaan," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (19/9).

Menurutnya, Pertamina telah mengambil langkah cepat yaitu mengubah proses bisnis penjualan dan pengadaan minyak mentah dan BBM dari Petral Group ke fungsi Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina. Setelah itu Menteri BUMN dan Menteri ESDM juga memutuskan untuk membubarkan Petral sejak 2015, dan proses likuidasinya diselesaikan pada 2017. (G-2)

 

BACA JUGA: