JAKARTA - Industri sawit dan turunannya mendapat tekanan hebat dari luar negeri terutama dari Uni Eropa melalui isu lingkungan—seperti deforestasi, emisi karbon, hingga punahnya satwa langka. Produsen sawit dituding melakukan kegiatan yang cenderung merusak lingkungan. Bahkan, rantai pemasok bahan baku sawit dan turunannya pun dianggap mendukung kerusakan lingkungan. Di sisi lain, pendapatan negara dari minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sudah melampaui minyak dan gas bumi (migas).

"Semua sudah tahu bahwa ini perang dagang antara kita dengan minyak nabati lain yang tidak bisa mengalahkan sawit dengan cara yang benar," kata Ketua Bidang Perpajakan dan Fiskal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bambang Aria Wisena kepada Gresnews.com, Selasa (3/9).

Menurut Bambang, pihak yang tersaingi dengan sawit ini melakukan semua cara curang untuk menjatuhkan sawit melalui berbagai institusi dan organisasi, termasuk organisasi masyarakat sipil. Media massa, kata Bambang, juga dihasut untuk tidak mau melirik keunggulan sawit.

Sampai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan auditnya yang dirilis 23 Agustus lalu, sebanyak 2.115 atau 83,66% perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan) belum memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System (ISPO). Berarti hanya 413 perusahaan (16,38%)—dari total 2.528 perusahaan sawit per November 2018 yang terdaftar di Sekretariat ISPO Ditjenbun—yang bersertifikat ISPO.

"Ini kan seolah-olah memojokkan pengusaha sebagai biang keladi masalah," katanya.

Padahal, saat ini, lanjut Bambang, ISPO sudah menerbitkan hampir 600 sertifikat dengan luasan sekitar 5 juta hektare. “Kenapa lambat? Bukan semata-mata karena pengusahanya, tapi untuk penilaian kelas kebun saja, apakah semua Pemerintah Kabupaten sudah memiliki anggaran untuk pelaksanaan penilaian kelas kebun sawit oleh Disbun (Dinas Perkebunan)?” tanya Bambang.

Menurut Bambang, nampaknya Uni Eropa (UE) memang secara sengaja ingin menghambat produk CPO Indonesia. Hal itu terlihat dari kriteria indirect land use change alias ILUC yang dipakai oleh Uni Eropa sebagai standar dalam menilai minyak nabati mana yang lebih berdampak negatif bagi lingkungan. Salah satu alasan CPO dihambat adalah karena produk-produk Eropa seperti minyak biji bunga matahari (Sunflower Seed Oil) dan minyak biji anggur (Grape Seed Oil)  tidak dapat bersaing dengan CPO. Produktivitas minyak yang dihasilkan CPO 6-12 kali yang dihasilkan setiap hektare dari minyak biji matahari atau minyak biji anggur. (G-2)

BACA JUGA: