JAKARTA - Greenpeace International menerbitkan laporan berjudul The Final Countdown: Now or never to reform the palm oil industry pada 19 September 2018. Inti laporan itu adalah hasil investigasi yang menunjukkan merek-merek besar dunia terkait dengan perusakan hutan di Indonesia. Perusahaan sawit yang memasok ke merek-merek besar seperti Unilever, Nestlé, Colgate-Palmolive and Mondelez termasuk yang merusak hutan. Sebanyak 25 grup sawit besar dituding telah merusak 130 ribu hektare hutan sejak 2015.

Greenpeace adalah salah satu LSM internasional—bercabang di Indonesia juga—yang gencar menyuarakan isu lingkungan terutama sawit. Bagaimana profilnya dan darimana dana mereka berasal? Gresnews.com menelisiknya.

Di Indonesia, Greenpeace berbadan hukum perkumpulan. Namanya: Perkumpulan Masyarakat Indonesia Pencinta Lingkungan dan Perdamaian (Perkumpulan Greenpeace Indonesia). Bila dilihat dari Laporan Aktivitas dan Aset Bersih untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2017, penerimaan terbesarnya berasal dari Kontribusi Perencanaan Pengembangan Perkumpulan sebesar Rp27,7 miliar. Sumber kedua terbesar adalah hibah dari Greenpeace International sebesar Rp15,4 miliar.

Bagaimana postur keuangan Greenpeace International?

Dari sisi prestasi di Indonesia sepanjang 2018, mengutip Laporan Tahunan 2018, Greenpeace mengklaim kampanye globalnya yang intensif telah membuat Wilmar International menyusun rencana aksi detail untuk menghentikan praktik kotor sawit.

UPDATE:
Pada 3 September 2019, di laman resminya, Greenpeace menayangkan artikel berjudul: Greenpeace menghentikan keterlibatan dengan Wilmar-Unilever-Mondelez karena lemahnya komitmen mereka dalam menghentikan deforestasi dari rantai pasok.

Keterlibatan untuk mengembangkan platform pemantauan dimulai setelah Pernyataan Bersama Wilmar, Unilever dan Mondelez pada tanggal 7 Desember 2018 yang berkomitmen dalam memberikan platform pemantauan multi-pemangku kepentingan yang kuat, transparan, dan independen untuk sektor minyak kelapa sawit.

Ketika Pernyataan Bersama dikeluarkan, Greenpeace mendukungnya sebagai terobosan potensial dalam menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan minyak sawit jika diterapkan.Pernyataan Bersama tersebut muncul setelah masa kampanye yang intensif pada tahun 2018 di mana Greenpeace mengekspos hubungan deforestasi dalam rantai pasokan perusahaan, termasuk Mondelez (Oreo & Cadbury), Unilever (Dove & Magnum) dan Wilmar. Keadaan darurat iklim menuntut tindakan segera dan transformatif.

Dari sisi keuangan, penerimaan terbesar berasal dari kontribusi anggota/organisasi nasional yang tersebar di berbagai negara sebesar EUR80 juta (Rp1,25 triliun) dan penerimaan lain EUR3,9 juta (Rp61 miliar). Dalam laporan keuangannya, terdapat entitas yang dikonsolidasikan, yakni Stichting Greenpeace Council, Stichting Phoenix, Stichting Iris, Stichting Rubicon, Stichting Theseus, dan Greenpeace Licensing B.V—semua berkedudukan di Amsterdam. Selain itu Direct Dialogue India—berkedudukan di Bangalore—perusahaan yang didirikan 2016 untuk penghimpunan dana.

Terdapat sejumlah isu keuangan yang dihadapi Greenpeace International pada 2018 antara lain keringanan pajak (VAT) yang sedang ditinjau oleh otoritas Belanda, biaya transfer dana dari anggota kepada Greenpeace International yang memaksa dilakukan perubahan model kontribusi di internal organisasi, dan perawatan/perbaikan kapal Esperanza yang diperkirakan pada 2021 dan akan memakan investasi besar.

Greenpeace, tulis influencewatch.org, awalnya adalah kelompok antinuklir. Terdapat 26 kantor regional yang mencakup 55 negara. Kantor pusat di Amsterdam. Greenpeace menentang energi fosil, nuklir, pertanian modern. Bermain juga di isu politik misalnya pembaruan hak pilih dan pembatasan senjata api.

Donor utamanya disebutkan antara lain Tides Foundation—organ kiri tengah yang didirikan Drummond Pike. Leonardo DiCaprio Foundation juga menjadi donatur. Organ penghimpun dana Greenpeace Fund yang antara lain disokong oleh Rockefeller Brothers Fund, Packard Foundation, William and Flora Hewlett Foundation, dan John Merck Fund.


WORLD WILDLIFE FUND (WWF)
WWF adalah salah satu pendiri Eyes on the Forest—koalisi LSM Indonesia. Pada 20 Juli 2018, EoF melansir hasil investigasi yang mengungkap sawit dari perusahaan besar melanggar deforestasi, begitu pula merek-merek besar yang menggunakan sawit itu: AAK, ADM, Bunge, Cargill, Colgate-Palmolive, Fuji Oil, General Mills, IOI, Kellogg’s, Louis Dreyfus, Mars, Mondelēz, Neste, Nestlé, Olam, PepsiCo, Procter & Gamble, Reckitt Benckiser, Sime Darby Plantation dan Unilever.

Bagaimana profil WWF dan postur keuangannya? Di Indonesia, WWF beroperasi dengan badan hukum Yayasan WWF Indonesia. Mengutip Laporan Keuangan Yayasan per 30 Juni 2017, total penerimaan sebesar Rp338 miliar. Sumbernya adalah donasi.

Kalau merujuk laman WWF internasional disebutkan bahwa donor lembaga itu antara lain Australian National University (ANU), UK Department for International Development (DFID), Uni Eropa (EU), MacArthur Foundation, Packard Foundation, The Nature Conservancy, USAID, dan Wildlife Conservation Society.

Mengutip Laporan Keuangan World Wildlife Fund, Inc and Subsidiaries per 30 Juni 2018, total penerimaan dari hasil operasional sebesar US$339 juta.(Rp4,8 triliun). Sumbernya adalah kontribusi, hibah pemerintah, jaringan WWF, dll. WWF mengklaim memiliki 5 juta anggota aktif di 100 negara.

WWF juga memutar uang di sejumlah instrumen investasi yang per 30 Juni 2018 nilainya US$256,1 juta (Rp3,6 triliun).

Menurut influencewatch.org, salah satu board WWF adalah Robert Litterman, seorang eksekutif di Kepos Capital, perusahaan manajemen aset di New York. Dalam daftar donor WWF terdapat Google Foundation, Margaret A. Cargill Foundation, Tiffany & Co. Foundation. WWF disebutkan juga merupakan salah satu klien Spitfire Strategies—perusahaan konsultan politik dan strategi yang didirikan Kristen Grimm, seorang pakar kampanye dan konsultan politik Partai Demokrat AS. (G-1)

BACA JUGA: