JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera menghentikan penyidikan Sjamsul Nursalim yang kini berstatus sebagai tersangka. Hal itu terkait dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bank Likuiditas Bantuan Indonesia (BLBI).

"Sebaiknya kembalikan kasus ini pada Kejaksaan atau Kepolisian agar bisa dihentikan, kenapa harus dipaksakan?" kata pengacara Sjamsul, Otto Hasibuan, kepada Gresnews.com, Sabtu (27/6).

Ia menjelaskan, majelis hakim telah menyatakan Syafruddin terbukti terlibat dalam menerbitkan SKL BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Perbuatan melawan hukum itu dilakukan Syafruddin bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), serta Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Namun, majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.

Menurutnya, dalam hal ini berlaku teori hukum, yakni putusan MA itu menjadi alasan pembenar agar penyidikan Sjamsul Nursalim dihentikan. Namun, kata Otto, lantaran KPK tidak berwenang menghentikan penyidikan maka yang terbaik adalah dengan mengembalikan kasus ini ke Kejaksaan atau Kepolisian untuk dihentikan.

Pasal 40 UU KPK menyatakan, “KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi."

Sementara itu mengenai tudingan aset bodong yang diserahkan Sjamsul, Otto menegaskan hal itu bukan bagian dari dakwaan sehingga tidak masuk dalam ruang lingkup kasus ini.

Sebelumnya pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menegaskan keputusan KPK tetap melakukan penyidikan kasus SKL BLBI untuk tersangka Sjamsul dan Itjih sudah tepat, karena Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI tidak memberikan informasi yang benar perihal piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun yang dijaminkan kepada negara.

"Tapi ternyata setelah dijual asetnya cuma Rp220 miliar saja. Kerugian negara dihitung dari unsur ini," kata Abdul Fickar Hadjar kepada Gresnews.com, Jumat (26/7). (G-2) 

BACA JUGA: