JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan dua tersangka baru terkait kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mereka adalah konglomerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Selain tuntutan pidana, terbuka peluang pemerintah untuk menuntut secara perdata. 

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menegaskan keputusan KPK tetap melakukan penyidikan kasus SKL BLBI untuk tersangka Sjamsul dan Itjih sudah tepat, karena Sjamsul selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tidak memberikan informasi yang benar perihal piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun yang dijaminkan kepada negara.

"Tapi ternyata setelah dijual asetnya cuma Rp220 miliar saja. Kerugian negara dihitung dari unsur ini," kata Abdul Fickar Hadjar kepada Gresnews.com, Jumat (26/7). 

Ia menjelaskan, pemerintah juga bisa menuntut secara perdata jumlah yang dinyatakan sebagai kerugian negara, yakni jumlah yang belum dibayar atau dikembalikan Sjamsul karena adanya selisih nilai dari aset bodong yang diserahkannya. Pemerintah dapat juga mencari aset lain dari Sjamsul. Kerugian negara harus kembali meskipun potensi kembali tidak seluruhnya. Ini tergantung pada kegesitan negara mencari aset lain di luar aset-aset bodong yang diserahkan Sjamsul sebagai jaminan.

Sebelumnya, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung melakukan perbuatan melawan hukum sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada KPK. Perbuatan melawan hukum itu dilakukan Syafruddin bersama-sama dengan Dorojatun Kunjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.

Namun, menurut MA, perbuatan itu bukan merupakan perbuatan pidana korupsi. "Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya," demikian bunyi amar putusan kasasi No. 1555 K/PID.SUS/2019 tertanggal 9 Juli 2019. (G-2)

 

BACA JUGA: